GENERASI KORBAN KIBAJAKAN WACANA
Oleh: Gempur Santoso
Setiap mahasiswa anggkatan baru. Saat memberi kuliah. Saya selalu bertanya. Anda pernah ikut ujian nasional (unas). Semua menjawab pernah. Anda kerjakan sendiri. Mereka diam.
Anda nyontek?. Jawabannya berbagai macam. Bocoran, contohan dan sebagainya. intinya mereka melakukan yang tidak jujur tapi "halal" tanda petik. Tidak jujur kok halal.
Unas ataupun unas berbasis komputer adalah salah konsep (pondasi) dalam sistem pendidikan. Teknis, dibenahi secara apapun akan menimbulkan ketidakjujuran, karena pondasi pendidikannya kurang tepat.
Akal pembenaran unas dilaksanakan, wacana saja. Akal tak selalu benar, wacana. Karena, secara empiris unas selama ini tidak menimbulkan kualitas siswa/pendidikan. Bertahun tahun.
Itu seperti keledai masuk lubang yg sama, berulangkali salah. Tak ngefek kualitas.
Kebijakan politik bidang pendidikan sebaiknya konsultasi kepada ahli pendidik. Jangan konsultasi kepada pengusaha. Agar guru dan siswa tidak selalu menjadi obyek kebijakan kepentingan "pengusaha". Kepentingan pengusaha adalah proyek.
Pengusaha pendidikan kategorinya pengusaha bukan pendidik. Beda. Pendidik punya tanggungjawab meningkatnya kualitas anak didik. Pendidik itu guru. Dalam medidik melakukan proses belajar mengajar.
Segera kembalikan pedidikan menggunakan manejemen akademis. Bukan manajemen politik paktis/bisnis.
Pendidikan melakukan pembelajaran. Peserta didik harus belajar. Hasil belajar adalah perubahan prilaku. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tak berkepribadian menjadi manusia tahu jati diri kepribadiannya. Dari ketergantungan menjadi manusia mampu hidup. Dari egois menjadi bisa bersosial bersama orang lain. Bermoral akhlakul karimah.
Perubahan perilaku itu atas bimbingan guru. Para murid mengembangkan sendiri didampingi guru. Tentu guru penuh kasih sayang.
Sistem pendidikan kita terlalu banyak ujian. Ada ujian harian, ujian tengah semester, ujian semester. Ujian kelulusan, ujian nasional dan lain lain ujian termasuk PR (pekerjaan rumah).
Mestinya yang baik adalah siswa banyak belajar. Tidak banyak ujian. Ujian atau evalusi memang perlu tapi tidak sebanyak itu.
Pendidikan atau bersekolah utamanya belajar agar bisa hidup. Tidak sekolah pun bisa hidup, juga bisa sampai tua renta. Apa bedanya.
Bedanya, seharusnya yang bersekolah itu dalam hidup bermoral, berilmu pengetahuan, tahu norma. Tahu kebenaran itu, diyakini dan dijalankan.
Jika tak ada beda. Maka bersekolah tidak ada gunanya. Bisa jadi bersekolah tapi tidak ada belajar. Atau, kurang ada belajar.
Tujuan belajar di sekolah untuk survival hidup. Akan lebih efektif jika dilakukan ujian satu kali saja selama hidup bersekolah.
Ujian dilakukan saat siswa memasuki usia adelosen remaja saja. Usia atau masa anak waktunya bermasyarakat. Jika diuji dianggap sudah mampu hidup secara mental, moral, berilmu, ya diluluskan saja.
Jika belum, ya didik lagi di sekolah. Tuntas mendidik mendampingi siswa mejadi dewasa seimbang dengan usianya.
Nyatanya (empiris), konsep pendidikan kita saat ini terlalu banyak ujian, anak/pendidikan tidak maju. Some thing wrong.
----------
0 Komentar