APENSO INDONESIA

header ads

ORANG BESAR PETANI MODERN

ORANG BESAR PETANI MODERN



Oleh: Gempur Santoso
Managing Director Asosiasi Pendidikan Sosial (Apenso) Indonesia.

Keadaan ini sudah berubah. Sangat terasa jika kita bandingan agak lama, puluhan tahun. Katakan 20 tahun hingga 30 tahun yang lalu. Perbedaan terkait mata pencaharian maupun sosial dan budaya.

Dulu, tampak jelas antara area persawahan dan pedesaan. Sekarang pun masih ada, hanya di beberapa wilayah sudah berubah. Dulu, orang desa atau pelosok tak kesulitan cari kerja. Lulus sekolah dasar terus kerja menjadi petani. Desa terdiri beberapa Dukuh. Tiap  Dukuh punya lahan pemukiman dan lahan persawahan. Lahan persawahannya, sebagai pertanian penduduk Dukuh setempat. Bertani sebagai mata pencaharian mereka. Luas.

Beberapa anak petani, ada yang meneruskan sekolah sampai tingkat sekolah menengah pertama, menengah ke atas bahkan perguruan tinggi. Tidak banyak jumlahnya. Itu bisa sampai terus sekolah, ada yang dijualkan sepetak tanahnya sebagai biaya. Harapan agar putra putri bisa menjadi pegawai (wong gede/orang besar). Mereka bercita cita putra putrinya jadi guru, pegawai negeri, tentara, dokter, pejabat dan lain sebagainya bukan tani.

Gerakan kembali sekolah berhasil, "ayo sekolah". Kini hampir semua anak bersekolah. Semua anak kota maupun desa bersekolah. Itu baik. Agar generasi muda berpengetahuan dan terdidik.

Setelah masa sekolah tamat. Lulus. Tidak terbiasa bertani. Tidak belajar bertani. Bisanya bersekolah saja.

Mereka beramai ramai mencari kerja agar dapat menjadi pegawai (wong gede/orang besar). Mereka banyak menuju kota. Nglamar pekerjaan di pabrik. Menjadi pegawai pabrik. Sesuai cita cita ortu menjadi pegawai walau pegawai pabrik. Tapi, ada pula yang menjadi guru, tentara, polisi, dokter dan lain sejenis pegawai, jumlahnya tak banyak. Masih jauh lebih banyak mejadi pegawai pabrik.

Pertanian di pedesaan menjadi kekurangan tenaga petani. Kini persewaan alat alat pertanian sebagai pengganti tenaga manusia, walau belum semua. Sebagaian banyak yang dijual ke pengembang dijual untuk tanah kapling, ada pula dijadikan perumahan, pergudangan dan lain lain.

Tanah tanah pertanian diborong oleh para pemegang modal. Dikapitalisasi, harga tanah menjadi mahal. Sesaat para petani yang menjaul sawah ke pengembang lebih mahal. Tapi mereka beberapa tahun lagi tak berdaya. Tak mampu membeli tanah pertanaian. Sewa tanah sawah pun jadi mahal. Biaya produksi lebih mahal dari pada pendapatan panen.

Pemuda desa masuk kota, tinggal di rumah kos, rumah kontrak. Banyak rumah petak kos menampung, terutama yang masih hidup baru. Tentu banyak pula yang telah memiliki rumah di kota. Saat libur kota menjadi lengang. Banyak yang berlibur, silaturohim ke ortu dan famili di desa (mudik).

Mereka dulu sekolah dibiayai ortu dengan apapun yang ada dijual, termasuk menjual tanah. Setelah lulus sekolah, kerja pabrik. Hasil kerja pabrik sulit untuk mengembalikan tanah pertanian ortu yang telah terjual, untuk biaya sekolah. Harga tanah sudah membubung naik.

Tenaga pertanian mengalami kekurangan. Mesin pertanian masih sedikit, mahal. Sangat mungkin itu salah satu sebab Indonesia tak mampu swasembada beras. Biaya produksi mahal, murah beras impor.

Anak anak petani memang potensi. Jika anak anak petani diarahkan pada sekolah petanian modern. Sangat mungkin saat ini sudah banyak industri pertanian modern. Jika anak anak petani disekolahkan di kejuruan pembuatan mesin pertanian, sangat mungkin tidak kekurangan alat pertanian yang murah.

Indonesia sebagai negara agraris. Di bawah katulistiwa. Pancaharian yang paling cocok adalah bertani. Semoga ke depan muncul dan banyak yang bertani modern. Indonesia bisa melimpah bahan pangan.

Jadi "orang besar" saat ini seharusnya adalah memiliki usaha industri pertnian modern. Punya pabrik mesin pertanian. Bukan lagi menjadi pegawai (buruh) pabrik. Semoga. (Gesa-Apenso)



Posting Komentar

0 Komentar