BUKAN RAPAT, MENYAKSIKAN, REFLEKSI MENGENANG
Oleh: Gempur Santoso
Udangannya jelas tertulis rapat. Pejabat tertinggi sampai terendah kampus diundang. Penting. Bahkan sangat penting, dalam benak saya.
Merasa seorang guru besar. Mempersiapkan pikiran dan pancaindra posisi siap 86. Barangkali diminta ide. Bisa disampaikan.
Pembawa acara, master ceremony (MC) cuap cuap sekitar setengah menit, prolog membuka rapat. Top Manager Owner kampus memberi sambutan. Tidak lebih 3 menit. Intinya: hindari egosentris, gaji naik, seduluran. Serah terima berkas surat keputusan (SK). Tidak lebih 2 menit. Misi pesan bagus.
Mikropon kembali ke MC, terdengar: bagi yang masih ada urusan silahkan meninggalkan tempat. Bahasanya halus. Dipertegas rektor, silahkan keluar. Diusir. Selesai. Cukup sekitar 5 menit. Ternyata bukan rapat kata MC, yakni menyaksikan penyerahan SK. Dapat sangu. Ya disyukuri....walau rasa seperti minum pahitan, butrowali.
Saya bisikkan ke rektor: katanya seduluran kok diusir. Dia diam dan senyum saja.
Ternyata. Para pendiri dan keturunan biologis dan keturunan non biologis. Tetap di tempat ruang rapat. Entah, apa yang akan dibicarakan atau yang akan dibagikan. Sudah tak perlu dipikir. Pancaindra tak jadi disiapkan, saya kantongi lagi. Keluar ruang.
Seperti biasa. Saya ke kantin. Ngopi. Bersama beberapa pejabat kampus. Saya bertanya ke salah satu pejabat. Apa enak dan tidak enaknya jadi pejabat kampus?. Dia jawab "yang tidak enak dan sulit yakni mengatur sumberdaya manusia (SDM)", katanya. Enaknya?, tidak dijawab.
SDM kampus terdiri dosen dan staf (karyawan). Ternyata pejabat kampus kesulitan mengordinir dan mengatur mereka. Saya juga tak paham ngatur yang bagaimana. Model birokrat-kah, profesional-kah, akademis-kah, atau seperti partai politik. Saya tak bertanya lebih jauh.
Saya ingat. Sekitar tahun 1990 an ke atas. Seorang rektor. Sekaligus tokoh politik, tokoh pramuka dan tokoh agama di Jawa Timur. Mengatakan pada saya "ngatur dosen itu lebih sulit daripada ngatur pengurus parpol", dia memberitahu. Saya duduk di sampingnya, mendengarkan. Sambil saya diberi rokok sebatang joe sam soe. Oleh dia, rokok di celah bibir saya disulutkan api. Akrap. Saya tetap hormat dan kagum. Sampai sekarang.
Seorang rektor itu. Dia sudah lama wafat. Sekitar tahun 2003 atau 2004 yang lalu. Dia dekat tidak hanya pada saya saja. Ke semua dosen dan karyawan sangat sangat dekat. Melidungi, tidak mencidrai hati. Ceplas ceplos. Hatinya baik. Terasa nyaman. Sama sekali tidak was was di bawah pimpinan beliau.
Atas ide dan prakarsa beliau, kampus saat ini jadi besar. Tanah luas. Dulu tanah murah. Saat ini pasti mahal, sejuta kali lipat harganya. Dia sudah meletakkan dasar kampus, dulu, saat ini jadi besar. Kini dia pergi telah tiada.
Saya hanya mengenang beliau. Terlinang. Saat saat tertentu. Saya kirim doa, sesuai agama saya. Saya kadang, saat ingat, kirim alfatekhah khususon almarhum bapak H.A. Hoedan Dardiri. Pemimpin sejati. (GeSa)
2 Komentar
Allahumma firlahu warhamhu waafihi wafu'anhu
BalasHapusAamiin yra
Hapus