PIKNIK, LESTARI ALAMKU DESA TETAP DESA INFRASRUKTUR BOLEH KOTA
Oleh: Gempur Santoso
MD: Asosiasi Pendidikan dan Sosial (APENSO) indonesia.
Kebiasaan kendaraan macet di jalan perkotaan. Di kota kota besar. Mulai libur natal dan tahun baru, dimana mana macet. Perjalanan menuju desa, macet. Menuju tempat rekreasi pegunungan, macet. Rasanya semua telah menjadi kota. Dipandang dari sudut perjalanan macet.
Rencana menuju Malang. Tepatnya kebun teh Lawang. Lewat tol. Sambil menikmati beberapa ruas tol gratis. Ternyata di tol meluap kendaraan.
Sudah saya prediksi. Akhir tahun, keluar kota pasti kendaraan penuh. Atau libur panjang kendaraan pasti penuh di penjalanan. Hadirnya tol kurang mengurai kemacetan. Terutama pada pintu masuk keluar tol. Di tengah perjalanan, di tol, lancar saja. Sambil melihat pemandangan sawah dan gunung. Naik turun di hampiran luas persawahan. Indah.
Dari Surabaya. Masuk pintu Menanggal. Mau masuk antri, padat lancar. Gate tol Sidoarjo, antri panjang. Setelah itu lancar. Gate Japanan dempuk. Masih dalam penyempurnaan. Setelah itu lancar. Perjalanan tol Porong menuju Pandaan, paling saya sukai. Jalan naik turun. Tampak gunung. Hamparan luas. Indah sekali pemandangannya.
Sampai Pandaan. Maunya lurus menuju tol Malang. Anak mantu saya yg nyetir. Terlanjur ambil jalur kiri. Oleh polisi dibelokan ke kiri, tak boleh lurus tol Malang. Akhirnya turun lewat bawah.
Gate Pandaan menuju Malang padat dat. Antrian panjang jang (saking panjangnya). Dianggap keberuntungan saja turun jalan bawah Pandaan. Walau ingin menikmati tol ke Malang tak kesampaian.
Pandaan jalan bawah. Juga padat merayap. Berfikir ulang tujuan ke Kubun teh. Di Taman Dayu. Terlihat tulisan "taman safari". Secara cepat singkat, kita belok kanan saja ke taman safari saja.
Radio arahkan frekwesi radio suara surabaya. Radio SS. Terdengar laporan pengendara. Antara Singosari Lawang, macet. Lamat lamat terdengar ada yg kejebak macet 2 jam. Jarak yang pendek itu.
Oleh polisi dibelokan ke Pandaan. Keberuntungan. Tak kejebak macet.
Taman dayu sampai taman safari, lancar. Di tengah perjalanan, mampir sholat dhuhur. Belok parkir di rumah makan. Di situ ada Mushola. Udara sepoi, dingin, segar. Lesehan. Saya sempat rebahan. Hemm...ngluruskan geger (vertebralis). Di Surabaya Sidoarjo, tak ada suasana seperti ini. Udara luar segar nyaman.
Sampailah taman safari. Harga karcis lebih mahal dibanding sekitar 5 tahun yang lalu. Dulu rp. 80 ribu per orang. Kini rp 110 ribu perorang. Anak kecil usia minimal 1 tahun, bayar rp 105 ribu. Jika komplit masuk 24 mainan rekreasi rp 135 ribu per orang.
Masuk lihat hewan liar di hutan, sudah habis dhuhur. Diputuskan masuk mainan ngecer saja. Per tempat mainan rp.10 ribu per orang. Ternyata hanya menghabiskan 3 tempat mainan saja. Makin sore. Terakhir lihat pertunjukan hewan.
Kami bersama keluarga termasuk cucu, 6 orang. Menuju pulang. Tatap lihat pemandangan. Sampai maghrib. Berhenti di Masjid. Bangunan Masjid sangat bagus. Di pedesaan/lereng gunung.
Terasa pedesaan. Lereng gunung. Wilayah Prigen. Masyarakat desa. Sosial masyarakat pertaninan. Tapi, hampir semua fisilitas, tidak kalah dengan kota. Di desa ini, sangat terasa lingkungan lebih sehat, udara tak tercemari.
Biarlah yang kota tetap kota. Yang desa tetap kota. Yang pegunungan tetap pegunungan. Yang bertani tani tetap bertani. Justru mereka yang bertani, menanam pangan. Memberi makanan orang kota. Dugaan saya, pengusaha tanah kapling saja yang merusak budaya bertani. (GeSa, 23/12/18)
0 Komentar