APENSO INDONESIA

header ads

APEM RUWAHAN ALIAS MEGENGAN

Catatan Budaya:

APEM RUWAHAN ALIAS MEGENGAN

Oleh: Gempur Santoso
APENSOINDONESIA.COM

Sehari pada 2 Mai 2019 ada tiga urusan dengan manusia yang telah wafat. Pertama, pagi urusan upacara hari pendidikan nasional (Hardiknas). Itu bertepatan memperingati Ki Hajar Dewantoro (almarhum alias telah wafat).

Kedua, sebetulnya pagi itu ada kegiatan sama yakni ziarah ke pendiri Unipa Surabaya yang telah wafat. Berangkat bersama teman sejawat kampus jelas tak bisa, bersamaan upacara hardiknas di LLdikti (dulu namanya kopertis). Rencana saya lakukan sore saja.

Ketiga, maka saya putuskan, saya ke leluhur dan pepunden saya di Kediri. Sebab bertepatan megengan atau ruwahan. Juga urusan doa untuk leluhur yang telah wafat dan silaturuhim ke ortu yang masih ada (masih sugeng).

Untuk ke para almarhun pendiri Unipa Surabaya saya lakukan setelah sholat magrib (kamis malan jum'at). Dengan mengirim doa dan alfatehah ke para almarhum.

Urusan megengan atau ruwahan. Ini sudah menjadi budaya. Di mana mana bicara itu. Menjelang puasa ramadhan, berbondong bondong kirim doa (ada yang nyebut nyekar) ke leluhur (almarhum alias manusia yang telah wafat).

Sampai tadi pun saya dengar para penjaga counter di mall Giant tempat relaksasi saya - ngopi, mereka rencara pulang megengan. Nunggu dapat libur hari minggu. Ada yang ke Pamekasan, Madiun dan lain lain daerah asalnya.

Setelah jum'atan sore pun kendaraan antara Aloha dan bunderan Waru padat. Rupanya pengendara akan pulang ke daerahnya masing masing. Megengan.

Begitu sampai rumah. Ternyata istri saya juga slametan megengan. Makanan lengkap dan kue apem dalam dos kotak, diatar ke beberapa tetangga.

Menurut sejarah. Saat masyarakat beragama Hindu Budha, di Jawa. Menjelang puasa ramadhan namanya slametan ruwahan. Saat saya kecil, saya masih menangi (nemui) saat ruwahan menjelang puasa. Masyarakat nyumet (nyulut) oncor (obor kecil). Obor itu terbuat dari janggel (bonggol buah jagung), gombal pipih (kain perca) digulung di ujung tusuk terbuat dari bambu. Kemudian dicelup dalam minyak tanah. Ada pula yang membuat oncor terbuat dari bumbung bambu kecil, diisi minyak tanah, di beri sumbu.

Siang hari, pulang sekolah anak anak seusia SD termasuk saya membuat oncor. Jumlahnya tergantung kebutuhan. Biasanya oncor di taruh di pintu pagar sisi kanan kiri. Di teras depan pintu rumah sisi kanan kiri. Di jeding (kamar mandi). Di peceren (buangan air). Di dapur. Dan lain lain.

Peletakan oncor itu. Diyakini bahwa setelah magrib para arwah leluhur pulang ke rumah. Agar tidak gelap, agar saat arwah pulang ke rumah tidak kesasar, maka diberi oncor (obor), biar terang. Begitulah kata ibu saya saat itu. Ya memang saat saya kecil belum ada aliran lampu listrik.

Saat Hindu Budha memang namaya ruwahan (arwah). Bulan Jawa namaya juga Ruwah. Kalau tahun Islam namanya Sa'ban. Menurut sejarah, oleh Sunan Kalijogo, ruwahan diganti menjadi megengan. Asal kata megeng (mandek /berhenti). Harus berhenti berbuat yang tidak baik, siap siap untuk puasa ramadhan. Maka, untuk meyucikan diri menyiapkan puasa, berdoa wujudnya kue apem (apem=afuhu=minta ma'af). Doanya permintaan maaf berupa apem dibagikan ke seluruh tetangga, agar dosa dosanya sengaja maupun tak sengaja diampuni para tetangganya.

Sampai saat ini ruwahan, megengan, apem menjadi budaya. Budaya yang bagus, selain mengingat para arwah, kita nanti akan wafat, akan menghadap Tuhan. Juga, slametan sodakoh makanan, saling minta maaf ke semua tetangganya berupa apem. Kalau dianggap bid'ah, insyaAlloh bid'ah khasanah (kebaikan). Semua dalam megengan adalah kebaikan sama sekali tak ada kejahatan. Budaya luhur.

GeSa

Posting Komentar

0 Komentar