APENSO INDONESIA

header ads

KUPATAN VERSI MBAHKU

Catatan Sosial:

KUPATAN VERSI MBAHKU
Oleh : Yitno Utomo, ST, MT
Director IT
APENSOINDONESIA.COM

Entah mulai dari mana, atau asal comot dari kitab "gatoloco" gatuk gatuk cocok, bahwa makna "kupatan" kepanjangan dari "ngaku lepat" (artinya, mengakui kesalahan). Toh versi yang terbaru dari berbagai makna kupatan akan mudah dijumpai ketika kita bertanya kepada mpunya pengetahuan, mbahnya sumber ilmu yaitu : MBAH GOOGLE

Namun versi yang dituturkan mbahku tempo dulu, kisaran tahun 1985-an bahwa kupatan itu adalah "hari raya anak kecil" dimana adalah sesajian kirim doa untuk almarhum anak-anak kita yang sudah meninggal di usia kecil. Sungguh saya memaknai sebagai peradaban yang sangat detail yang dimiliki oleh Islam saat itu, dimana versi hari raya saja dipilah atau di cluster dalam versi umum dan anak-anak.

Artikel Hnur Azis (2019) yang menelusuri sejarah kupatan di desa Durenan-Trenggalek dengan penelusuran sejarahnya menyebutkan versi yang sama, bahwa kupatan adalah "riyoyo kecil" hari raya untuk anak-anak bayi yang telah meninggal, yang diwariskan sejak lama oleh masa kejayaan kerajaan Hindu-Budha. Mungkin adopsi tradisi kebaikan inilah Islam selalu tidak pernah merubah tradisi, sehingga klenik-klenik yang sifatnya ritual kejawen disempurnakan dalam versi ibadah syukur kepada sang-Khalik.

Kupatan menjadi simbolis untuk hari raya idul fitri, dari sisi desain modern akan mudah dikenal ketika logo "KUPAT" ditempelkan pada atribut apapun itu mbuktikan bahwa kegiatan itu mewakili Hari Raya Besar Keagaamaan Umat Islam. Bentuk kupat yang banyak menunjukkan sudut 4 dan 5, dimaknai sebagai "kiblat papat, limo pancer" yaitu empat arah mata angin dan pancer-nya (pusat) adalah ka'bah sebagai kiblatnya. Unsur-unsur yang dipikirkan secara detail, menandakan keilmuan desain saat itu sudah tinggi.

Apapun versinya "kupatan" menjadi bagian dari rasa syukur kita kepada Illahi Rabbi, sedekah makanan yang dibagikan secara bergantian oleh masyarakat desa, sering disebut "ater-ater" menjadi ciri khas kerukunan, sekali lagi Islam dan budaya Jawa selalu mengedapankan ibadah horisontal, memanusiakan-manusia sebagai indikasi bahwa keagamaan kita telah baik, seperti yang diajarkan nabi untuk mengedepankan toleransi. (YTV).


Posting Komentar

0 Komentar