APENSO INDONESIA

header ads

EMPIRIS DAN HAKIKI

Opini:


EMPIRIS DAN HAKIKI
Oleh: Gempur Santoso

Saya tidak mengerti alasan rasional, teman keluar dari dosen. Tidak mau memberi alasan. Mengapa tadak mau lagi jadi dosen. Sebelum keluar, dulu, selalu saya bertanya mengapa akan keluar? Apa kamu sakit tak bisa kerja dosen? Kamu mau nikah harus ninggalkan Surabaya? Apa kamu kurang penghasilan dari dosen?. Jawab dia "rahasia prof". Kini teman saya itu betul betul telah keluar dari status dosen.

Teman saya ini perempuan, bujang. Dulu dia mahasiswa saya S1. Dia pandai. Saya ikut mendorongnya melanjutkan studi pascasarjana di ITB dan ITS. Untuk bisa jadi dosen di kampus tempat kerja saya. Dia sudah punya nidn, dosen tetap yayasan, sudah dapat gaji, tunjangan. Aktif tridharma: pendidikan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tidak hanya saya tapi teman dosen lain juga menyayangkan dia keluar.

Tapi memang hak asasi seseorang menentukan jalan hidupnya. Suatu saat teman saya itu datang lagi ke kampus. Saya tanya: lho tak jadi keluar ya, kok masih disini, atau ada urusan. Katanya, menyelesaikan tanggungan pekerjaan penelitian "biar tidak ada dosa". Dia peneliti dengan teman dosen lain, laporan dan tangungan baru selesai. Teman saya ini tampaknya sibuk dengan urusan "dosa atau tidak dosa", menurut pemahamannya, yg belum tentu dosa. Baik juga.

Cerita lain. Saat saya memberi kuliah dalam kelas. Ada seseorang memakai kopiah. Hanya satu orang pakai kopiah. Mahasiswa yang lain tidak. Ya...saya rasa boleh boleh saja, hak dia. Yang menjadi perhatiannya saya. Setiap kuliah mahasiswa pakai kopiah selalu telat. Selalu saya persilahkan duduk, ikut kuliah saya.

Suatu saat, di kelas, saya bertanya kepada mahasiswa pakai kopiah itu. Mengapa kok kamu selalu telat?. Jawabnya: saya cangkruk di bawah. Saya tanya lagi: Apa kamu kurang yakin dengan ilmu mekanika ini. Dia diam. Tampaknya mahasiswa ini kurang yakin dengan ilmu dunia. Sekadar kuliah saja. Sekadar absen. Tidak berusaha memahami ilmu dunia (banyak orang sebut ilmu umum). Ada yang mendekotomi ilmun umum dan ilmu agama.

Nah...dari dua kejadian di atas, teman saya dosen dan mahasiswa saya. Terkesan "takut dosa" walau belum tentu dosa, dan lebih penting ilmu agama daripada ilmu umum.

Di dalam kelas, dilihat semua mahasiswa. Saya jatuhkan pulpen saya. Kemudian penghapus saya jatuhkan. Para mahasiswa saya tanya. Coba bukumu jatuhkan. Mengapa pulpen, pengahapus dan benda banda padat ini jatuh? kok tidak melayang. Mereka menjawab hampir bersamaan, ada grafitasi bumi pak. Betuulll...kata saya.

Hukum grafitasi bumi ini benar ada. Bumi mengikat semua benda padat yang di bumi. Benar. Kebenaran grafitasi hanya benar di planet bumi saja, tidak benar di planet lain. Segala hal kebenaran di bumi disebut kebenaran empiris (orang sebut ilmu umum. Padahal malah ilmu khusus kebenaran di planet bumi saja, tidak umum seluruh jagat raya.

Kebenaran di seluruh planet jagat alam dunia dan akherat adalah kebenaran hakiki dari Tuhan. Kita kuliah ini belajar ilmu empiris kebenaran di planet bumi. Semua kebenaran ilmu di planet bumi harus kita pelajari, sebisanya.  Sebab saat ini kita sedang hidup di planet bumi. Kebenaran di planet bumi kita pelajari agar kita tidak kesulitan saat di bumi, dan tidak kesulitan nanti menuju alam lain (akherat).

Tuhan pun yang memiliki "kun fayakun" (jadilah jadi). Adanya bayi manusia tidak ujuk ujuk ada, jadi. Tapi menggunakan ilmu hukum di palnet bumi dunia, harus bersuami istri syah, yang perempuan (ibunya) mengandung 9 bulan sepuluh hari, baru lahirlah bayi mausia. Dan sebagainya berlakunya ilmu hukum Tuhan (sunatulloh) untuk planet bumi di dunia. Manusia disuruh membaca dan memikirkannya.

(GeSa)




Posting Komentar

0 Komentar