Opini:
*Pendidikan vs Persekolahan*
Daniel Mohammad Rosyid
Tidak banyak yang menyadari bahwa persekolahan kita telah membajak sistem pendidikan nasional kita sehingga tujuan pendidikan nasioal boleh dikatakan gagal tercapai. Sejak Orde baru, *subsistem persekolahan kita telah dirancang untuk mendominasi sistem pendidikan* sehingga yang terjadi bukan sebuah proses pencerdasan kehidupan bangsa, tapi malah pendunguan kehidupan bangsa. Banyak yang tidak menyadari bahwa *persekolahan yang tampaknya suci dan mulia adalah institusi yang paling berbahaya* bagi upaya mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Impian tentang *masyarakat industri dan obsesi pada pertumbuhan ekonomi* melalui investasi, termasuk investasi asing telah mendorong para perencana pembangunan Orde Baru untuk menjadikan *persekolahan paksa massal sebagai instrumen teknokratik* yang paling penting dalam merekayasa transformasi masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Bersama dengan televisi, persekolahan disiapkan untuk membangun budaya konsumtif yang diperlukan bagi industrialisasi besar-besaran. Budaya konsumtif itu adalah papan lontar bagi budaya hutang.
*Misi utama persekolahan adalah menyediakan syarat budaya bagi masyarakat industri*, bukan untuk menumbuhkan jiwa merdeka yang dibutuhkan bagi perwujudan kemerdekaan. Persekolahan membentuk kecerdasan tertentu secukupnya pada murid untuk patuh dan disiplin melakukan serangkaian tugas-tugas produktif, namun sekaligus membentuk kedunguan tertentu yang dibutuhkan untuk rela menerima keterjajahan. Makin lama bersekolah, mentalitas ketergantungan makin terbentuk yang *mengerdilkan jiwa merdeka*, menghambat semangat kemandirian.
Memasuki dekade ketiga milenium kedua ini, demi mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa, kita harus segera mengurangi dominasi persekolahan dalam sistem pendidikan kita. Dengan semua revolusi digital, fokus kita harus bergeser pada *perluasan kesempatan belajar, bukan pada pembesaran persekolahan*. Belajar adalah sebuah _emergent phenomena_ yang tidak pernah mensyaratkan pengajaran ( _teaching_), apalagi persekolahan dengan semua formalismenya yang makin menyerap banyak sumberdaya tapi efektifitasnya makin menurun.
Pada saat *ketrampilan otodidak* makin penting, kita perlu membangun sebuah jejaring belajar ( _learning webs_) yang luwes dan lentur yang _demand-sensitive_, disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar dengan beragam minat, dan bakat, bukan sistem persekolahan yang kaku dan seragam serta _supply-driven_. Kita perlu lebih mengutamakan relevansi, bukan mutu.
Apabila perubahan paradigma ini tidak segera kita lakukan, jangan kaget jika *semakin banyak sekolah, makin lama di dalamnya, tapi pendidikan justru makin sulit kita temui di masyarakat*. Bonus demografi akan berubah menjadi tagihan demografi.
Gunung Anyar, 8/7/2019
0 Komentar