APENSO INDONESIA

header ads

Universitas, Sekolah dan Zonasi

Opini:



Universitas, Sekolah dan Zonasi
Oleh: Daniel Mohammad Rosyid

Sebulan terakhir ini dunia pendidikan dihebohkan oleh kebijakan sekolah zonasi yang diprakarsai oleh Mendikbud Muhajir Efendi. Kemudian, Mendikbud juga mendesak Menristekdikt M. Nasir agar menyesuaikan penerimaan mahasiswa baru dengan kebijaksanaan zonasi ini. Saya perlu memberi beberapa catatan kritis atas kebijakan ini.

Jika kebijakan ini dimaksudkan untuk memeratakan mutu pendidikan, maka mungkin ini akan berhasil. Pemerintah mungkin mampu memeratakan mutu prasarana dan sarana serta guru sehingga setiap murid cukup bersekolah ke sekolah yang  terdekat dari rumah masing-masing. Tapi pemerataan mutu guru sebagai manusia tidak semudah memeratakan prasarana dan sarana sekolah yg bersifat fisik. Kemudian, mutu *pendidikan sebagai jasa* masih banyak ditentukan oleh *interaksi dengan murid*, dan untuk pendidikan dasar juga akan ditentukan oleh interaksi dengan wali murid. Guru bermutu akan kesulitan menghadapi murid yg tidak siap bersekolah.

Namun *pemerintah seringkali menempuh kebijakan pragmatis*. Melalui persekolahan sebagai instrumen teknokratik, Pemerintah menggunakan kebijakan _supply-side_ berskala masif. Pendidikan diubah menjadi *persekolahan paksa massal*. Jika tidak diantisipasi, ini bisa menjadi proses pendunguan ( _dumbing down_ ) terstruktur, sistemik dan masif. Banyak survey menunjukkan bahwa dari 10 anak usia sekolah, hanya 2 atau 3 anak yang cocok dengan pola persekolahan untuk pendidikan mereka. Kebanyakan anak justru memerlukan layanan pendidikan yang lebih luwes tidak sekaku persekolahan.

Seharusnya pemerintah lebih mengadopsi kebijakan yang lebih mementingkan *relevansi, bukan mutu* berbasis standard. Untuk memastikan relevansi, kebijakan pendidikan harus lebih _demand-side_ yang lebih rumit. Kebutuhan pendidikan masyarakat bisa sangat beragam. Bakat dan minat mereka juga sangat beragam. Ini berarti *pendidikan lebih baik diarahkan pada perluasan kesempatan belajar* (bukan perluasan persekolahan) secara informal dan non-formal terutama yang berbasis masyarakat secara luwes dan lentur. Seperti spons, pendidikan semacam ini akan menyerap lebih banyak warga belajar daripada persekolahan yang kaku.

*Universitas yang bermutu tidak mungkin dicapai melalui kebijakan zonasi*. Mutu universitas sangat ditentukan oleh keragaman asal dan budaya mahasiswanya. Kolam mahasiswa yang homogen (lokal) akan kesulitan menghasilkan kreativitas yang dibutuhkan oleh universitas untuk unggul. Artinya, *tuntutan keragaman justru semakin tinggi untuk jenjang pendidikan yang makin tinggi*. Sebagai contoh, Jakarta, Bandung dan Jogya adalah kawasan heterogen yang subur bagi kreativitas yang sangat dibutuhkan oleh universitas unggulan.

Sukolilo, 2/7/2019

Posting Komentar

0 Komentar