Opini:
ZONASI PENERIMAAN GURU BARU "INHIBRIDING" KETURUNAN
Oleh: Gempur Santoso
Zonasi penerimaan siswa baru seharusnya sementara. Aturan zonasi akan tak ada gunanya setelah pemerataan jumlah sekolah, fasilitas sumber belajar, kualitas guru. Akan otomatis anak anak memilih sekolah terdekat. Otomatis terhapus kastanisasi.
Saat ini muncul wacana zonani penerimaan guru. Malah menyimpang jauh. Landasan ontologis filsafatnya makin tidak jelas. Terkesan "kranjingan zonasi" alias sekadar sensasi. Jika sekadar sensasi, berarti tidak memahami filsafat pendidikan. Bahkan filsafat manusia. Padahal filsafat itu sebagai dasar pendidikan, bersifat universal.
Penerimaan guru baru. Sebagian besar diambil dari generasi muda. Generasi masih bujang. Belum nikah.
Penerimaan guru baru zonasi. Diterima dalam zonossi itu. Akan berkenalan dg pemuda/pemudi di zonasi itu. Kemungkinan besar akan kawin mawin (nikah) dengan orang di zonasi itu. Sangat mungkin kedekatan darah. Terjadi "inhybriding" keturunan. Kita tahu keturunan inhibriding kualitasnya kurang bagus, fisik, kecerdasan, maupun mentalnya.
Indonesia negara bhineka, banyak suku dan ras. Perkawinan antar ras akan menghasilkan bibit genersasi berkualitas. Zonasi penerimaan guru zonasi menghambat perkawinan antar ras (hybrid). Menghambat lahirnya bibit manusia berkualitas.
Di sisi lain. Indonesia terpecah pecah dalam zonasi manusia. Melemahkan persatuan Indonesia.
Dulu, sudah bagus, penerimaan PNS/ASN harus mau membuat pernyataan bersedia di seluruh wilayah Indonesia. Jika tidak, jangan daftar. Itu lebih menimbulkan aksiologis filsafat manusia berdasarkan ontologisnya.
Uruslah pendidikan dengan memahami manusia itu apa dan siapa. Karena, pendidikan untuk manusia oleh manusia. Jangan membuat aturan lepas makna mendidik manusia.
Hanya oleh manusia terdidik negeri ini akan maju. Itupun terjadi jika semua memahami makna pendidikan manusia.
(GeSa)
0 Komentar