APENSO INDONESIA

header ads

Deschooling Sekarang !!!

Opini:

*Deschooling Sekarang !!!*
Daniel Mohammad Rosyid
(Guru Besar ITS Surabaya, mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur)


Presiden terpilih akhir-akhir ini lebih banyak bicara tentang pembangunan Sumber Daya Manusia. Sebelumnya beliau pernah bicara soal revolusi mental. Terakhir, Mendikbud bicara soal Pendidikan Karakter. Jika dicermati, baik Presiden maupun pembantunya itu masih saja terjebak oleh *persekolahan*, termasuk Sekolah Vokasi. Wajib belajar diartikan sebagai wajib sekolah.

Pemerintah, lalu masyarakat, masih saja *gagal membedakan antara pendidikan dan persekolahan*. Kesalahan ini sudah terjadi cukup lama, namun diperparah sejak Orde Baru hingga hari ini. Pendidikan adalah soal kesempatan belajar, bukan kesempatan bersekolah. Belajar sebagai sebuah _emergent phenomena and process_ bisa terjadi dan dilakukan di mana-mana, terutama justru di luar sekolah. Mengartikan belajar hanya bisa terjadi di sekolah tidak saja keliru tapi juga menyesatkan.

Jika pembangunan adalah persoalan memperluas kemerdekaan seperti yang dirumuskan Amartya Sen, maka *pendidikan sebagai tugas utama pembangunan adalah memperluas kesempatan belajar*. Sekolah justru mempersempitnya. Pada saat Mendikbud mengatakan bahwa pendidikan karakter harus dengan *kurikulum berbasis luas*, maka ini harus diartikan sebagai *perluasan kesempatan belajar di luar sekolah*, yaitu di rumah dan di masyarakat. Tidak bisa diartikan lain. Ini justru sesuai dengan wasiyat Bapak Pendidikan kita Ki Hadjar Dewantoro tentang tiga pilar pendidikan yaitu keluarga, masyarakat dan perguruan.

Pendekatan persekolahan sebagai instrumen teknokratik seringkali bertentangan dengan tugas utama pendidikan yaitu *membentuk jiwa merdeka*. Hanya dalam jiwa yang merdeka karakter jujur, amanah, peduli dan cerdas bisa tumbuh subur  *Persekolahan justru mengurangi kemerdekaan jiwa* karena lebih berfokus pada kepatuhan melalui pendisiplinan secara terus menerus. Masyarakat yang patuh (sebagai tenaga kerja trampil) akan memberi lingkungan yang aman bagi investasi.

Di samping itu, persekolahan dengan semua jargon mutu dan formalismenya hanya berhasil di kawasan perkotaan dengan mayoritas warganya adalah pegawai dan buruh. Persekolahan gagal melayani masyarakat pedesaan dan kawasan pinggir apalagi terpencil. Di P. Parang, Kecamatan Karimunjawa, Kab. Jepara, Jawa Tengah misalnya, guru PNS hanya datang dua bulan sekali untuk beberapa hari saja. Bahkan persekolahan di kawasan pedesaan merupakan faktor pendorong urbanisasi besar-besaran. Persekolahan gagal menyiapkan regenerasi petani dan nelayan dengan kompetensi yang makin baik. Ini sekaligus menjelaskan mengapa sumbangan sektor pertanian justru terus menurun pada PDRB kita.

Ke depan, untuk membangun pasar ekonomi, pasar budaya dan pasar politik yang sehat, kita perlu segera melakukan _deschooling_, yaitu mengurangi dominasi persekolahan dalam Sistem Pendidikan kita. Jam sekolah dan anggaran untuk sekolah perlu dikurangi agar warga belajar memiliki waktu yang lebih banyak untuk belajar bermasyarakat, dan belajar bersama dalam keluarga. Pusat-pusat belajar di masyarakat (seperti Pramuka, sanggar seni dan klub olahraga, satuan bisnis, masjid/gereja, unit-unit kegiatan masyarakat) perlu diperbanyak dan didanai dengan cukup.

Untuk memastikan kita bisa  memanen bonus demografi, kita perlu melakukan deschooling sekarang. Paradigma _schooling_ harus diganti _learning_ dalam _set up_ lembaga yang lebih non-formal. Sugata Mitra menyebutnya _Self Organized Learning Environment_ (SOLE). Guru-guru bisa memandu SOLE ini sebagai _community organizer_ atau _sociopreneur_. Pendidikan bagi semua hanya mungkin oleh semua.

Sukolilo, 28/9/2019

Posting Komentar

0 Komentar