*Memperingati Proklamasi, Mengingatkan Politisi*
Daniel Mohammad Rosyid
Di tengah kesemarakan perayaan 17 Agustusan di kampung-kampung, *hiruk pikuk recehan bagi-bagi kursi pasca Pilpres 2019*, wacana pemindahan ibu kota, gempa bumi di sana sini, dan kekeringan yang melanda di sebagian kawasan tanah air, perekonomian yang lesu dan hutang pemerintah maupun swasta yang makin menggunung, kita perlu renungkan kembali makna kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta 74 tahun silam. *Apakah kita sungguh-sungguh merdeka* ? Apakah yang dimaksud dengan merdeka yang sesekali kita teriakkan dalam berbagai orasi ?
Bung Karno menyebut *kemerdekaan sebagai jembatan emas* yang berujung sebuah pintu gerbang di mana kita sebagai bangsa mampu *mewujudkan janji-janji Republik* ini : melindungi segenap tumpah darah dan bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam membangun dunia yang lebih tertib berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Artinya, bukti kemerdekaan kita diukur dari kemampuan kita mewujudkan janji-janji Republik ini.
Segera perlu dicatat bahwa *Proklamasi mengasumsikan ketersediaan prasyarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka* setelah beratus tahun berjuang melawan penjajahan. Yang terakhir menjelang Proklamasi bangsa ini justru jatuh di bawah kekuasaan Jepang. Beberapa indikator makro menunjukkan bahwa bangsa ini, *setelah 74 tahun Proklamasi, sulit disebut sudah merdeka*. Prasyarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka gagal kita sediakan.
*Kita telah kalah dalam perang asimetri* berupa ketundukan pada berbagai perjanjian internasional yang membelenggu kita. Yang paling parah adalah *keterbelengguan kita pada anggaran dasar IMF* yang secara terstruktur, sistemik dan masiv namun legal menjarah hampir semua kekayaan kita melalui *mekanisme keuangan dan hutang global ribawi*. Seperti pernah dinyatakan oleh Benjamin Franklin hutang ribawi adalah instrumen penjajahan. Riba tidak saja memiskinkan manusia tapi juga merusak alam. Semua *hasil pembangunan ternyata habis untuk membayar hutang dan rehabilitasi mental dan lingkungan yang terlanjur hancur*.
Kita juga kalah dalam perang asimetri melalui *perang pemikiran* melalui pemberlakukan berbagai standar pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Berbagai *standar itu melestarikan mentalitas bangsa terjajah*. Inilah sebab pokok mengapa kita gagal menyediakan syarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka.
Kemiskinan, kerusakan alam dan rasa rendah diri itulah benang merah yang mewarnai dinamika Republik sejak proklamasi hingga hari ini. Pada saat kekayaan alam kita dikeruk melalui investasi asing, beban hutang yang makin menggunung, perasaan rendah diri yang menghinggapi petinggi pendidikan, maka sulit mengatakan bahwa kita sanggup melindungi tumpah darah dan bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi ikut serta dalam membangun ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.
Kunci penyediaan *prasyarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka ada pada pendidikan*. Sekali lagi : pendidikan, *bukan persekolahan*. Persekolahan tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalagi membangun jiwa merdeka. Persekolahan dirancang untuk menyiapkan warga negara yang cukup trampil untuk bekerja sebagai buruh, namun cukup dungu agar tetap membiarkan penjajahan baru nekolimik berlangsung terus.
*Pukulan terakhir perang asimetri itu adalah amandemen atas UUD45 menjadi UUD2002* yang membuka semua pintu bagi kekuatan-kekuatan nekolimik global untuk menjajah negeri ini. UUD2002 menggusur sistem Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai tafsir utama sila ke 4 Pancasila dan menggantinya dengan demokrasi liberal yang ditentukan oleh para pemilik modal. Prinsip keterpilihan ( *elektabilitas* ) _one-man one-vote_ menggusur prinsip *keterwakilan* ( _representedness_ ) yang menjunjung tinggi permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Yang terjadi kemudian adalah *dominasi partai politik tanpa _polity_ yang berarti* sebagai kebajikan publik.
Pada saat wacana publik pasca Pilpres 2019 mengarah pada sebuah pemerintahan tanpa _check-and-balances_ yang memadai, kita mesti waspada karena pada saat standard etika paling tinggi kita harapkan diteladankan oleh para _law makers_ di parlemen, maka *masyarakat madani perlu kita perkuat* agar kita bisa mengagendakan kembali ke UUD45 dan tetap kuat menjaga stamina untuk mengawal janji-janji Republik yang rawan dikhianati justru oleh yang seharusnya menjaganya dengan setia.
Jepara, 13/8/2019
0 Komentar