APENSO INDONESIA

header ads

JANGAN KORBANKAN GURU HONORER

Opini:



JANGAN KORBANKAN GURU  HONORER
Oleh: Gempur Santoso


Kekurangan guru pada suatu lembaga pendidikan sekolah masih menjadi masalah. Mekanisme pengadaan guru memang sudah ada. Tapi, mekanisme itu masih banyak menimbulkan masalah.

Lama dan belum tentu ada pengangkatan guru. Setahun sekali. Itupun belum tentu ada. Apalagi ada penangguhan (renumerasi) pengangkatan guru. Padahal pendidikan terus berjalan, ada muridnya, butuh guru.

Begitu pula, kelebihan guru pada suatu lembaga sekolah pun masih ada masalah. Lembaga sekolah terlanjur didirikan. Lambat laun muridnya tidak ada, habis. Memang di sekitar sekolah itu sudah tidak ada murid usia sekolah.

Tulisan ini fokus pada kekurangan guru. Biasanya, saat kurang jumlah guru. Pengadaan guru, oleh pihak kepala sekolah (kasek) berunding dengan komite sekolah (komel). Itu inisiatif.

Honor guru dibiayai komsel, urunan wali murid. Jenis guru ini lambat laun disebut guru honorer. Honor/upah seadanya/seikhlasnya. Honornya kecil, jauh, gaji guru PNS/ASN sangat lebih besar.

Lambat laun guru honorer pun harus diberi surat tugas/surat keputasan pejabat setempat. Bisa kepala dikbud atau kepala pemerintahan setempat (bupati/walikota). Honor guru honorer tetap seikhlasnya. Tetap kecil..horor. Saking kecilnya gaji disebut "horor".

Begitu ada pengangkatan guru ASN. Guru honorer terpinggirkan, dihambatkan faktor usia ketuaan. Dialihkan agar daftar ke guru P3K (kontrak), ditest. Ada yg tak lulus tes juga. Banyak.

Menyakitkan, guru honorer dianggap tak kualitas. Dianggap guru cakupan darurat, jadi guru tanpa test. Lebih dipojokan lagi, kalimat pejabat setingkat menteri ya memang menteri "guru honorer yang mengangkat kesek, biar kasek saja yg menggaji".

Semua kalimat ditujukan guru honorer di atas adalah kalimat "suci tangan" kurang punya rasa tanggungjawab. Padahal jasa guru honorer sangat besar. Saat kurang guru, ikhlas honor seikhlasnya. Guru honorer, menyelamatkan murid yg tak ada gurunya. Saat penganngkatan guru ASN, guru honorer dipinggirkan dan dicemooh.
Guru honorer tambahan gaji diambilkan dari dana bos pun dimasalahkan. Ya semua wali murid tetap tidak lelah urunan. Untuk guru, untuk pendidikan anak anaknya (sbg murid).

Saat renumerasi guru sekitar 4 tahun. Dalam satu lembaga sekolah, kadang jumlah guru honorer lebih banyak daripada jumlah guru ASN. Guru ASN banyak pensiun, penggantinya belum ada. Nasib guru guru honorer bagai "habis manis sepah dibuang". Tentu hal itu tak boleh terjadi lagi, karena melanggar perikemanusiaan.

Mekanisme mengangkatan guru untuk lembaga sekolah yg kekurangan guru, perlu segera diatur.  Butuh mekanisme cepat, tepat, ringan tak bertele tele. Sebab ada murid, pendidikan pun terus berjalan. Tak mungkin pendidikan dihentikan.
Mendikbud berkewenangan mengatur mekanisme, saat kekurangan guru dan pemerintah tak mampu ngangkat guru.

Diinspirasi pihak sekolah dan komite sekolah yg ada saat ini. Dapat disempurnakan sebagai mekanisme pengadaan guru secara darurat. Syarat, kualifikasi dan mekanismenya perlu diatur yang simpel, cepat.

Tentu jangan korbankan lagi guru honorer, saat negara mampu mengangkat guru ASN, harap guru honorer langsung diangkat. Sesuai syarat, kualifikasi dan mekanisme yg harus diatur secara jelas. Tertuang pada peraturan pemerintah, bisa juga peraturan menteri dikbud. Intinya, perlu regulasi yg syah.

Guru tak mungkin digantikan dukun. Maka jangan ada dusta diantara kita. (GeSa)

* Artikel ini juga telah dimuat Koran Mingguan Swaranews, edisi 15 okt 2019.

Posting Komentar

0 Komentar