APENSO INDONESIA

header ads

Kuliah Umum Reformasi Pendidikan Nasional Bersama NADIEM Makariem (1)

(1)

“Kuliah Umum Reformasi Pendidikan Nasional Bersama NADIEM Makariem“
Oleh : H. Banu Atmoko
Apenso Indonesia


Keberhasilan suatu negara memiliki relevansi yang signifikan dengan kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Sedangkan kualitas pendidikan berbanding lurus dengan kejelasan tujuan dan arah kebijakan yang hendak dicapai.

Standar kualitas merupakan perwujudan dari komitmen kolektif untuk menjadi bangsa yang unggul, maju, dan berperadaban. Oleh karena itu, keunggulan pendidikan menjadi indikator majunya suatu bangsa, sebaliknya rendahnya daya saing bangsa merupakan pencerminan dari rendahnya kualitas pendidikan yang dihasilkan.

Indonesia merupakan negara terbesar keempat di dunia, bukan hanya besar dari segi jumlah populasinya, melainkan juga besar dalam kepemilikan kekayaan sumber daya alamnya, seharusnya juga besar dalam pencapaian kualitas pendidikan. Sayangnya dari aspek pendidikan, negara ini masih jauh di bawah peringkat pendidikan yang diselenggarakan oleh kebanyakan negara-negara lain di dunia, walaupun juga harus diakui terdapat berbagai prestasi yang berhasil ditorehkan oleh putra-putri terbaik bangsa melalui berbagai event seperti dalam olimpiade ilmu pengetahuan beberapa tahun terakhir ini.

Berdasarkan data dalam Education for All (EFA) Global Monitroring Report 2011 yang dikeluarkan UNESCO menunjukkan bahwa indeks pembangunan pendidikan Indonesia berada pada urutan 69 dari 127 negara yang disurvei atau turun empat tingkatan jika dibandingkan hasil survei sebelumnya yang menempatkan Indonesia pada urutan ke 65.

Survei itu menggunakan empat tolok ukur, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada anak usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan peserta didik hingga kelas V sekolah dasar. Prestasi tersebut akan berdampak buruk bagi kemajuan bangsa ini di masa yang akan datang jika tidak sesegera mungkin dilakukan perbaikan di sektor pendidikan.

Secara normatif, kebijakan pemerintah Indonesia dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan tercermin dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”

Dengan mengalokasikan anggaran pendidikan yang tinggi diharapkan dapat menciptakan pendidikan yang baik sehingga mampu berkompetisi secara global dengan negara-negara di dunia. Namun, kenyataan menunjukkan realitas yang sebaliknya. Berbagai permasalahan internal seperti layanan pendidikan tanpa diskriminasi, ketersediaan dana untuk program wajib belajar, ketersediaan tenaga pendidik yang bermutu, pembinaan tenaga pendidik untuk sekolah dan di luar sekolah, sarana dan prasarana pendidikan, dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan menjadi hambatan utama dalam menciptakan pendidikan yang bermutu.

Nampaknya, Indonesia perlu belajar dari pengalaman negara lain untuk merumuskan langkah strategis dalam membangun sektor pendidikan. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam hubungannya dengan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sistem pendidikan nasional saat ini dipandang belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi pencerdasan bangsa.

Padahal, hal ini akan membawa implikasi terhadap kemakmuran dan martabat mulia bangsa. Di samping itu, rancangan pendidikan nasional belum berhasil keluar dari kerangka politik etis sebagaimana pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda. Hal itu dapat dicermati dari berbagai kebijakan yang cenderung diskriminatif, pendidikan yang berorientasi menghasilkan tenaga kerja murah, dan menciptakan lulusan yang mampu menjadi pegawai negara.

Pertama, kebijakan pendidikan yang cenderung diskriminatif dapat dicermati dari adanya kebijakan pemerintah yang berusaha untuk menjadikan sekolah menengah kejuruan (SMK) berbanding 70:30 dengan sekolah menengah umum (SMU) lainnya. Rasio perbandingan jenis sekolah seperti ini dapat melahirkan perbedaan prioritas yang berimbas pada tingginya perhatian pemerintah pada jenis sekolah kejuruan di satu sisi dan “seolah” mengabaikan pengembangan keseluruhan jenis sekolah umum yang ada di sisi lain.

Begitu pula dengan kebijakan penyelenggaraan pendidikan berstandar internasional (RSBI) juga telah membawa dampak disparitas baru khususnya dalam hubungannya dengan pemberian sarana dan prasarana pendidikan, walaupun juga telah diakui dapat berkontribusi positif terhadap peningkatan kualitas bagi sekolah-sekolah tertentu.

Secara konseptual, memang siswa Sekolah International dirintis untuk menyamai kurikulum international seperti pada Cambridge atau International Baccalaureate (IB). Dari segi tujuan dan visi memang sangat bagus, di mana siswa sudah dilatih untuk berkomunikasi secara global dengan bahasa Inggris. Siswa SBI juga memiliki pengalaman belajar yang sama dengan IB atau Cambrige.

Namun, dilihat dari berbagai aspek, perhatian pemerintah terhadap sekolah yang berstandar internasional telah menimbulkan gap yang begitu besar dengan sekolah-sekolah yang berstandar lokal, regional, dan bahkan yang berstandar nasional.

Kedua, pendidikan berorientasi menciptakan tenaga kerja murah, yang oleh sebagian pandangan menganggap sebagai kebijakan yang salah arah, karena hanya sebagai penyedia supply tenaga kerja (pekerja) murah, bukan menjadi lokomotif-lokomotif penggerak ekonomi melalui wirausaha (entrpreneurship) yang mandiri.

Berdasarkan laporan Global Entrepreneurship Moneter menunjukkan bahwa Singapore telah menciptakan tenaga handal interpreneur sebesar 2,1 persen pada tahun 2001 dan menjadi 7,2 persen tahun 2005. Sedangkan Indonesia hanya mampu menghasilkan 0.18 persen pada tahun 2006 atau hanya memiliki 400.000 dari jumlah penduduk sebesar 230 juta.

Selama ini, Indonesia hanya mampu mengekspor TKI yang identik dengan pekerja pembantu rumah tangga atau buruh kasar yang notabene memiliki kualifikasi pendidikan rendah sehingga cenderung diperlakukan tidak manusiawi.

Ketiga, pendidikan hanya mampu menciptakan lulusan yang cenderung menjadi pegawai negara saja. Lulusan masih banyak yang tidak memiliki keterampilan yang memadai yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Bayangkan, setiap tahun Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi. Dari sekian banyak sarjana terungkap bahwa jumlah pengangguran terdidik (lulusan perguruan tinggi) melonjak tajam hampir dua kali lipat dalam empat tahun terakhir. Pada Februari 2005, jumlah penganggur dengan pendidikan universitas masih 385.400 orang. Empat tahun kemudian, yakni pada Februari 2009, jumlahnya sudah mencapai 626.600 orang.

Posting Komentar

0 Komentar