APENSO INDONESIA

header ads

COVID-19 DAN MANAJEMEN WAKTU

COVID-19 DAN MANAJEMEN WAKTU


Oleh : Warsono
Guru Besar dan Mantan Rektor Unesa


Penyebaran covid-19 masih terus terjadi. Sampai saat ini (10 Juni 2020) terjadi penambahan 1.241 kasus dari hari sebelumnya, sehingga jumlah yang terpapar mencapai 34.316 orang (Kompas.com).

Meskipun Pemerintah telah melakukan kebijakan PSBB, jumlah orang yang terpapar covid masih bertambah setiap harinya. Kebijakan PSBB tidak cukup efektif untuk memutus penyebaran covid-19, karena masyarakat kurang patuh terhadap protokol kesehatan salah satunya adalah menjaga jarak secara fisik (physical distanching).

Kebijakan akan berjalan jika dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu, suatu kebijakan perlu disosialisasikan. Sosialisasi harus terus dilakukan sampai terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan. Kurangnya sosialisasi menjadi penyebab kegagalan suatu kebijakan.
Seringkali sosialisasi belum mampu merubah cara berpikir masyarakat sehingga tidak terjadi perubahan perilaku.

Kerumuman masa yang terjadi dimana-mana mengindikasikan bahwa mereka belum sepenuhnya paham tentang bagaimana penyebaran covid-19. Kepatuhan masyarakat  untuk menjaga jarak secara fisik dan memakai masker masih sangat rendah.

Fenomena warga yang berdesak-desakan pada saat terjadi pembagian bantuan pemerintah masih terus terjadi. Mereka berebut  mengambil posisi paling depan dengan mengabaikan protokol kesehatan. Inilah yang menyebabkan penularan covid-19 terus terjadi.

Fenomena antrian yang mengabaikan jaga jarak tidak lepas dari cara berpikir masyarakat. Mereka menggunakan paradigma empirisme, yang menekankan kepada kenyataan. Mereka beranggapan bahwa agar cepat memperoleh pelayanan harus berada pada jarak yang dekat dengan yang melayani. Oleh karena itu, mereka berdesak-desakan  berebut tempat paling depan.

Cara berpikir seperti itu, memang tidak sepenuhnya salah. Waktu sekolah di SMP atau SMA IPA, pernah memperoleh pelajaran bahwa jarak merupakan perkalian waktu dan kecepatan. Jika diformulasikan dalam rumus S = V x t. Dengan asumsi tersebut, agar cepat memperoleh pelayanan maka harus memperpendek jarak dengan yang melayani.

Akibatnya desak-desakan berebut tempat yang paling dekat dengan yang melayani tidak bisa dihindari. Cara berpikir seperti ini sekarang harus diubah, karena sudah tidak relevan lagi, setidaknya perlu ditinjau ulang.

Dengan kemajuan teknologi, dimensi ruang sudah bisa diabaikan. Orang bisa saja berinteraksi dari tempat yang berbeda-beda. Mereka bisa dipertemukan dalam waktu yang sama. Saat ini rapat maupun seminar tidak harus dilakukan dalam ruang yang sama. Pelajaran sekolah tidak harus dilakasanakan dalam ruang kelas. Dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi orang bisa melakukan rapat, seminar maupun proses belajar mengajar meskipun berada dalam ruang yang berbeda, bahkan berjauhan.

Orang tidak perlu lagi harus berdesak-desakan, karena jarak tidak lagi menjadi penentu dalam antrian. Kapan ia akan mendapat giliran lebih ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan petugas untuk melayani satu orang. Meskipun mereka berdempetan, tetapi jika pelayanan terhadap yang didepannya belum selesai mereka tetap harus menunggu.

Kapan seseorang mendapat giliran ditentukan oleh waktu yang dibutuhkan petugas untuk menyelesaikan satu layanan. Kalau pelayanan terhadap seseorang belum selesai, maka orang yang dibelakangnya juga belum akan dilayani.

Covid-19 mengajarkan cara berpikir dari dimensi ruang ke dimensi waktu. Dengan dimensi waktu, jarak sepuluh meter, dengan satu meter bahkan dengan satu centimenter tidak ada bedanya. Cara berpikir yang menghargai waktu harus ditanamkan kepada masyarakat dalam rangka menghadapi tatanan kehidupan normal baru (new normal).

Manajemen waktu ini sebenarnya juga sudah dilaksanakan dalam antrian, yaitu dengan cara mengambil nomor urut. Pelayanan akan dilakukan sesuai dengan nomor urutan antrian dan menunggu panggilan. Cara ini seperti ini bisa digunakan untuk mendidik masyarakat dalam mencegah penyebaran covid-19. Sayangnya cara seperti ini jarang dilakukan terutama jika jumlah masanya banyak.

Kepastian tentang waktu juga sering diabaikan oleh masyarakat kita. Ketidakjelasan waktu untuk menunggu membuat orang berdesakan. Setiap kegiatan pasti membutuhkan waktu, dan bisa diukur, berapa yang dibutuhkan untuk melakukan satu kegiatan. Dengan demikian bisa dihitung atau diketahui kapan kegiatan tersebut akan selesai.

Kepastian waktu juga berkaitan dengan kedisiplinan dan konsistensi dalam melakukan pekerjaan. Jika orang tidak disiplin dan konsisten dalam melalukan pekerjaan, sudah bisa dipastikan tidak ada kepastian waktu, karena tidak bisa diprediksi kapan akan selesai.

Sebagian masyarakat tidak mampu mengelola  waktu dengan baik. Mereka menganggap  bahwa waktu itu tidak terbatas dan bisa diulur-ulur. Padahal waktu adalah kepastian, yang tidak bisa ditambah dan dikurangi. Satu tahun sama dengan dua belas bulan. Satu hari sama dengan dua puluh empat jam.

Waktu sekaligus juga sebagai pembatas yang akan mengakiri suatu kegiatan. Dalam masalah waktu, logika kita tidak pernah jelas. Sebagai contoh, jika kita mendapat undangan tertulis jam 10.00 pagi. Persoalannya jam 10.00 itu kita sudah harus datang di tempat, atau kita baru berangkat dari rumah.

Pandemic covid-19 mengajarkan kepada kita untuk menghargai dan mengola waktu dengan baik. Kemampuan mengelola waktu dengan baik merupakan salah satu faktor yang memperngaruhi kemajuan atau keberhasilan suatu bangsa.

Mereka yang bisa memanfaatkan dengan baik yang akan berhasil. Tetapi siapa yang  membuang-buang waktu dengan kegiatan-kegiatan yang tidak memberi manfaat, maka mereka akan menjadi yang kalah (hidupnya sia-sia).

-------

Posting Komentar

0 Komentar