APENSO INDONESIA

header ads

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN KELUARGA DI TENGAH PANDEMIC CORONA

“PARADIGMA BARU PENDIDIKAN KELUARGA DI TENGAH PANDEMIC CORONA“


Oleh : H. Banu Atmoko
Apenso Indonesia

    DUNIA saat ini sedang limbung, akibat pandemi Coronavirus Disease-19 (Covid-19). Menurut WHO, sejak ditetapkan sejak 11 Maret 2020, pandemi Covid-19 telah melanda setidaknya 214 negara termasuk Indonesia. Memaksa lebih dari setengah umat manusia mengunci diri di dalam rumah.

    Di Indonesia, kasus pertama Covid-19 ditemukan pada 2 Maret 2020 dan langsung diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejak itu, korban terus bertambah dan meluas hingga ke berbagai daerah. Laman penyedia data statistik independen, worldmeters mencatat ada 10.551 kasus yang terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia. Entah sampai kapan pandemi ini berakhir, yang pasti implikasinya tak lagi hanya pada kesehatan, namun hampir ke semua bidang kehidupan.

    Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan status bencana non alam terhadap wabah Covid-19 dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional.

    Kepada dunia pendidikan, Covid-19 telah mengubah banyak hal. Ada sekitar 404 ribu sekolah jenjang sekolah dasar hingga menengah harus tutup. Lalu ada lebih dari 51 juta peserta didik baik PAUD, SD, SMP, hingga SMA, SMK, dan SLB keluar dari ruang kelas. Tanpa persiapan yang matang, sekolah-sekolah formal tetiba dipaksa menggunakan aplikasi media pembelajaran jarak jauh untuk menggantikan pembelajaran tatap muka di kelas. Para guru juga mendadak dipaksa melakukan sesuatu yang berbeda dalam pemberian pelajaran kepada peserta didik.

    Guru-guru yang kebetulan familiar dengan aplikasi digital tentu tak terlalu menemukan kesulitan berarti. Sebaliknya, bagi mereka ini momentum untuk mengasah kemampuannya membuat pembelajaran e-learning. Pembelajaran masih bisa dijalankan, siswa merasa senang dan nyaman belajar. Tapi jumlah guru yang seperti itu amat terbatas, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah siswa yang sangat banyak. Masih ada cukup banyak guru yang canggung memanfaatkan model pembelajaran secara daring. Akibatnya, para guru memilih untuk mengeluarkan jurus pamungkas, dengan memberi tugas. Beberapa pihak juga turut membantu, membuat tayangan TV misalnya, namun sayang pembelajaran yang disuguhkan masih ala kadarnya, yang penting ada kegiatan belajar online.

    Kegiatan pembelajaran di tengah pandemi Covid-19 yang dilakukan oleh Sekolah terkesan hanya dibuat dalam jangka pendek dan bersifat sementara, sambil menunggu perkembangan. Mereka Wait and See, sambil berharap pandemi segera berakhir dan pembelajaran bisa kembali dilakukan seperti biasa belum adanya kepastian soal kapan pandemi Covid-19 berakhir tentu mempengaruhi dunia pendidikan tak cuma secara psikologis dan teknis, tapi juga problem paradigmatis.

    Soal ini, ada yang bilang, bila Covid-19 berakhir pada Juni 2020. Tapi ada juga yang menyebut maret 2021. Hal ini mengacu pada studi Budi Sulistyo, et.al. (2020), alasannya penerapan social distancing yang terlalu longgar. Studi dari Harvard University lebih ekstrim lagi, bahwa protokol untuk melakukan physical distancing mungkin perlu dilakukan setidaknya hingga tahun 2022. Kecuali jika ada peningkatan kapasitas medis, atau tersedianya vaksin Covid-19. Jadi wajar, jika situasi seperti ini pada akhirnya membuat institusi pendidikan lebih memilih melakukan wait and see.

    Seumpama ‘katak direbus’, kondisi dimana seekor katak tidak melompat dan malah merasa nyaman ketika ditaruh di atas kuali berisi air yang dipanaskan secara perlahan. Sang katak tak kunjung tahu, akan bahaya yang mengancamnya.

    Pandemi Covid-19 membuat krisis dunia pendidikan kita kian mendalam. Kenapa begitu? Karena kondisi pendidikan kita sebelum munculnya virus kurang ajar ini pun sejatinya tidak begitu baik. Ini terbukti dari survei dari PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018. Survei ini menyebut Indonesia berada pada posisi urutan bawah dari 77 negara, yang dicerminkan dari posisi kemampuan siswa Indonesia yang berada di posisi 74 dengan skor 371, posisi kemampuan matematika di posisi 73 dengan skor 379 dan posisi kemampuan sains di posisi 71 dengan skor 396. Jika tanpa Covid-19 saja sudah begitu, maka sudah bisa dipastikan jika saat ini kualitas pendidikan kita akan sangat ambyar.

    Pandemi Covid-19 memang menuntut perubahan paradigma pembelajaran yang sangat cepat dan tidak direncanakan ke pembelajaran online - tanpa pelatihan, bandwidth tidak mencukupi, dan sangat sedikit persiapan – tentu saja akan menghasilkan pengalaman belajar siswa yang buruk. Kondisi ini tidak kondusif untuk kelanjutan pengembangan pendidikan dan pencapaian standar kompetensi minimal yang harus diraih oleh seorang siswa.

    Disrupsi Covid-19 secara tidak langsung telah mengubah paradigma pendidikan. Pandemi ini telah benar-benar mengganggu sistem pendidikan dan mengakibatkan pendidikan kehilangan relevansinya. Sekolah yang semula berfokus pada keterampilan akademik tradisional tetiba harus pindah ke pembelajaran online yang lebih memberikan peluang kemampuan pemikiran kritis dan kemampuan beradaptasi yang tinggi. Tidak bisa tidak, para pemangku kebijakan di semua level institusi pendidikan harus segera mengambil langkah cermat untuk melakukan transformasi total sistem pendidikan di Sekolah.

    Tidak perlu menunggu instruksi dari pusat, apalagi menunggu pandemi Covid-19 berakhir. Jika pandemi berakhir tahun ini, kita syukuri karena itu yang diharapkan. Tapi jika tidak, maka sekolah harus sudah memiliki rencana cadangan yang cermat dan dipersiapkan dengan matang, mengingat mendidik generasi bangsa ini tidak boleh dilakukan secara asal-asalan.

    Di tengah pademi, melakukan transformasi total sistem pendidikan tentu saja tidak mudah, kita membutuhkan adanya ‘Survival Innovation’. Setidaknya ada 3 gagasan utama Survival Innovation yang dapat dilakukan yaitu : Pertama, gagasan Digital Innovation, atau integrasi teknologi informasi dalam pendidikan pada tingkat depan dari pendidikan yaitu tingkat sekolah. Inovasi ini harus dipercepat untuk diwujudkan secara terstuktur dan sistematis serta harus ada jaminan inovasi digital berupa pendidikan on line menjadi komponen integral model pendidikan hibrid di sekolah.

    Siswa diberikan akses teknologi ke sumber belajar dan bahkan dibimbing belajar keterampilan teknis melalui media komputer, laptop, tablet, dan ponsel yang terhubung dengan internet. Bagi siswa yang memang memiliki akses ke teknologi yang tepat, ada bukti bahwa belajar on line bisa lebih efektif dalam beberapa cara. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rata-rata, siswa mempertahankan 25-60% lebih banyak materi di dalam otaknya ketika belajar on line dibandingkan dengan hanya 8-10% di ruang kelas. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar disebabkan oleh kemampuan siswa dapat belajar lebih cepat secara online.

    E-learning membutuhkan 40-60% lebih sedikit waktu untuk belajar daripada di lingkungan kelas tradisional, karena siswa dapat belajar dengan cara mereka sendiri, kembali dan membaca kembali, melewatkan, atau mempercepat melalui konsep yang mereka pilih sendiri. Namun demikian, efektivitas pembelajaran on line bervariasi di antara kelompok umur. Konsensus umum menyatakan bahwa anak-anak yang lebih muda memerlukan lingkungan yang terstruktur, karena anak-anak tersebut lebih mudah terganggu. Untuk mendapatkan manfaat penuh dari pembelajaran on line, perlu ada upaya bersama untuk menyediakan struktur ini.

    Dengan mereplikasi kelas fisik melalui kemampuan video, menggunakan berbagai alat kolaborasi dan metode keterlibatan menggugah inklusi, personalisasi, dan intelijen dari siswa. Untuk itu pimpinan sekolah harus mempersiapkan tenaga pengajarnya menjadi fasilitator pengembangan kompetensi siswa dan sekaligus sebagai pencipta konten pendidikan digital yang handal dalam waktu cepat. Inovasi Digital tidak melulu dimaknai dengan pembelajaran on line, namun dapat juga berupa aplikasi off line dengan berbagai strategi penyampaian materi dalam bentuk digital based content khususnya untuk pembelajaran di daerah yang tidak terjangkau dengan internet dengan baik.

    Kedua, gagasan Collaboration Innovation, ini merupakan upaya menghadirkan pengalaman baru melalui kolaborasi dan kokreasi antar sekolah yang sejenis baik secara mandiri per-sekolah maupun per-provinsi/kabupaten/kota. Seperti penyiapan bahan ajar/modul bersama, penyelenggaran kelas bersama, masyarakat/DUDI berpartisipasi sebagai pengajar, saling berbagi buku pelajaran dan seterusnya. Inti dari inovasi ini adalah menyatukan sumber daya dan kekuatan melalui kolaborasi dan kokreasi. Inovasi ini adalah langkah cerdas untuk menciptakan extraordinary value ke masyarakat khususnya para siswa yang tidak mungkin diwujudkan jika masing-masing sekolah berjalan sendiri-sendiri.

    Selain itu, gagasan ini akan lebih dominan dilakukan oleh Pemerintah untuk menangani pendidikan di daerah khusus/3T. Inovasi ini dapat dipersiapkan dan dapat dilakukan sejak momen Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajar baru yang akan segera dimulai pada Juni 2020.

Ketiga, gagasan Model Bussiness Innovation, ini berupa pivot proses bisnis inti yang sudah tidak bisa dijalankan lagi, maka Sekolah harus move-on, tidak boleh berdiam diri. Sekolah dapat melakukan inovasi proses bisnis berupa pembelajaran secara on line (on line schooling) dengan menggunakan platform digital. Peran kedua orang tua sangat besar dalam proses pembelajaran anak (home-schooling). Ke depan, jika sekolah fisik tidak lagi relevan, maka platform on line learning/on line course yang dilengkapi dengan licensed certification akan booming. Orang tua lebih memilih menyekolahkan anak di rumah karena orang tua dapat memantau langsung milestone anak. Tentu saja kebehasilan gagasan ini terletak adanya dukungan regulasi dari Pemerintah.

    Peristiwa besar dunia seringkali menjadi titik awal perubahan untuk inovasi cepat. Meskipun belum terlihat apakah gagasan Survival Innovation di dunia pendidikan menjadi salah satu titik awal revolusi pendidikan Indonesia pasca pandemi COVID-19. Namun yang jelas bahwa melalui pandemi ini, Dunia Pendidikan Indonesa dapat mengambil pelajaran penting, akan penting dan mendesaknya penyebaran pengetahuan lintas batas, lintas usia, dan lintas semua bagian masyarakat. Jika teknologi pembelajaran on line dapat berperan pada masa pandemi Covid-19, maka tugas semua pihak untuk terus menggali potensi penuhnya.

    Akhirnya melalui gagasan Survival Innovation dapat diusulkan sebuah model pendidikan hybrid yang menjadi bagian integral tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan Indonesia, dimana pembelajaran off line tradisional dan e-learning dapat berjalan seiring setelah pandemi COVID-19.

(Bn)

Posting Komentar

0 Komentar