APENSO INDONESIA

header ads

MENGANTARKAN ANAK KE MASA DEPAN

MENGANTARKAN ANAK KE MASA DEPAN


Oleh : Warsono
Guru Besar dan Mantan Rektor Unesa (Universitas Negeri Surabaya)

    Saat ini para orang tua sedang disibukan dengan urusan pendidikan anak. Kebijakan pemerintah tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang memasukan lokasi sebagai salah satu pertimbangan untuk diterima di suatu sekolah sejak tahun lalu telah menimbulkan berbagai tanggapan. Diantara para orang tua ada yang setuju, tetapi banyak juga yang tidak setuju terhadap sistem PPDB yang berbasis zonasi. Mereka yang tidak setuju umumnya adalah yang memiliki anak dengan prestasi akademik yang tinggi, tetapi tidak bisa diterima di sekolah yang difavoritkan, hanya karena jarak rumah dengan sekolah. Apalagi ketika ada kebijakan umur sebagai bagian dari yang dipertimbangan dalam penerimaan siswa baru. Untung saja, kebijakan tersebut hanya di DKI Jakarta saja, tidak berlaku di seluruh Indonesia.

    Kesibukan para orang tua dalam urusan pendidikan anak, menunjukan bahwa ada pergeseran paradigma tantang anak. Dulu (sekitar tahun 60 an) para orang tua tidak terlalu simbuk, bahkan bisa dikatakan tidak semua orang tua peduli terhadap pendidikan anaknya. Orang tua memandang anak hanya sebagai man power, yang bisa dipekerjakan untuk membantu orang tua di sawah, di pasar, atau pekerjaan lainnya. Hal ini dipertegas dengan konsep sugih anak sugih rejeki, (banyak anak banyak rejekinya). Bagi anak-anak yang cerdas, mereka sendiri yang sibuk mencari sekolah dan harus merengek serta menangis minta izin orang tuanya. Itupun belum tentu orang tuanya mengizinkan dan mau membiayai sekolahnya.

    Saat ini orang tua telah sadar, bahwa anak adalah tabungan masa depan. Jika ingin sukses di masa tua, maka tabungan (anak) tersebut harus diisi dengan ilmu pengetahuan, alias disekolahkan. Oleh karena itu, orang tua yang sibuk mencarikan sekolah anaknya. Bahkan orang tua yang gelisah dan kawatir kalau anaknya tidak bisa diterima di sekolah yang dianggap unggul. Sementara anak justru tidak terlalu peduli dan kawatir dengan sistem PPDB.

    Meskipun telah terjadi pergeseran paradigma orang tua tentang anak, pertimbangannya masih tetap dari sisi orang tua, bukan dari kepentingan anak. Jika dahulu anak dianggap sebagai tenaga kerja, maka yang diuntungkan adalah orang tua, karena dibantu oleh anaknya dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan semakin memiliki banyak anak, beban orang tua, terutama Bapak dalam membiayai kebutuhan keluarga semakin ringan. Konsep sugih anak sugih rejeki, lebih dimaknai bahwa yang sugih rejeki adalah orang tuanya. Apalagi bagi orang tua yang memiliki tanah yang luas, maka anak bisa diperjakan di sawah atau ladang.

    Sementara paradigma bahwa anak sebagai tabungan masa depan juga dari sisi orang tua. Dengan disekolahkan di lembaga pendidikan yang dianggap baik, orang tua berhadap anaknya akan sukses di masa depan, sehingga bisa membantu atau setidaknya membagakan orang tua. Meskipun paradigma anak sebagai tabungan masa depan, menunjukkan adanya tanggung jawab orang tua, anak tetap menjadi “korban” kepentingan orang tua. Karena anak sering kali tidak diberi kebebasan atau setidaknya dilibatkan dalam menentukan masa depannya sendiri. Ada kecederungan orang tua memaksakan keinginannya kepada anak dalam menentukan pendidikan.

    Bahkan didalam pendidikan, juga ada semacam “diskriminasi” terhadap anak. Dalam penetuan prestasi selalu dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu, terutama matematika, dan IPA. Mereka yang memiliki prestasi di bidang seni, atau olah raga jarang memperoleh apresiasi dari sekolah maupun orang tua. Padahal Howard Gardner telah menjelaskan bahwa ada multiple intellegence, yang terdiri delapan kecerdasan. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan ditemukannya kecerdasan baru oleh para ilmuwan. Setiap anak memiliki keunggulan kecerdasan sendiri-sendiri, sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kecerdasan tersebut merupakan potensi yang harus dibantu pengembangannya melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sangat penting, karena membantu anak mengembangkan potensi yang dimiliki sebagai modal untuk menghadapi tantangan di masa depan.

    Memang prestasi seseorang tidak bisa dilepaskan dari potensi yang dimiliki. Secara umum bisa dirumuskan bahwa prestasi merupakan fungsi dari potensi dan motivasi (prestasi = potensi + motivasi). Potensi merupakan suatu yang kodrati (natural) yang dibawa sejak lahir. Potensi yang dimiliki anak bisa juga karena genetik yang diwariskan oleh orang tuanya. Oleh karena itu, sering ditemui bahwa bakat (potensi unggul) seorang anak sama dengan orang tuanya. Anak yang lahir dari keluarga seniman, biasanya juga memiliki bakat seni. Anak yang lahir dari keluarga olahragawan, memiliki potensi di bidang olah raga.

    Ini menunjukan bahwa potensi itu akan menjadi prestasi jika didukung dengan motivasi yang sangat tinggi. Motivasi tersebut bisa dari internal maupun eksternal. Motivasi internalpun perlu adanya penguat dari luar. Sering kali anak kurang memiliki motivasi yang tinggi, sehingga perlu dorongan dari luar. Motivasi ini menurut Victor Vroom berkaitan dengan cita-cita, harapan (exspectancy), dalam arti semakin tinggi harapan (cita-cita) seseorang maka semakin tinggi juga motivasinya.

    Secara konseptual cita-cita memiliki tiga makna yaitu, 1) sebagai motivasi; 2) garis arah; dan 3) sebagai sasaran atau target yang akan dicapai. Oleh karena itu, anak yang tidak memiliki cita-cita, tidak memiliki motivasi dan tidak memiliki arah yang jelas dalam hidupnya. Dia juga tidak mempunyai strategi dan perencanaan dalam hidupnya.

    Persoalannya adalah saat ini banyak anak yang belum bahkan tidak memiliki cita-cita yang tegas. Ketika mereka ditanya, apa cita-citanya, sebagian besar menjawab bingung atau belum punya. Memang cita-cita berkaitan dengan masa depan. Cita-cita merupakan gambaran profesi atau kondisi yang diharapkan di masa depan. Sebagian besar anak memang belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan, sehingga mereka sulit untuk menentukan cita-citanya. Jika ada anak yang memiliki cita-cita, biasanya hanya meniru dari apa yang terjadi saat ini. Atau cita-cita tersebut merupakan harapan orang tua yang ditanamkan kepada anak. Misal, anak memiliki cita-cita ingin jadi dokter, karena mereka tahu bahwa dokter merupakan profesi yang terhormat, dan mendatangkan banyak uang. Mungkin dengan adanya pandemic covid-19 yang banyak membawa korban para dokter, cita-cita anak atau orang yang semula ingin menjadi dokter akan berubah.

    Apa yang harus dilakukan orang tua adalah memberi gambaran kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Meskipun demikian, belum tentu semua orang tua bisa menjelaskan apa yang akan terjadi sepuluh tahun atau lima belas tahun ke dapan, kerena membutuhkan analisis yang berkaitan dengan tingkat pendidikan. Salah satu tugas sekolah dan para guru adalah mengambil alih tugas orang tua yaitu memberi gambaran apa yang akan terjadi di masa depan kepada anak. Dengan demikian anak bisa tahu dan mentukan pilihan peran apa yang akan diambil di masa depan.

    Salah satu tugas orang tua dan guru yang sangat penting adalah menumbuhkan motivasi dan mendorong anak untuk berani mengambil peran di masa depan. Tentu peran yang bukan hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri dan keluarga, tetapi juga yang memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Keberanian ini menjadi penting, karena keberhasilan merupakan fungsi dari prestasi, peluang dan keberanian (keberhasilan = prestasi + peluang + keberanian). Meskipun anak memiliki suatu prestasi dan ada peluang, tetapi jika tidak memiliki keberanian untuk memanfaatkan peluang tersebut, ia tidak akan meraih keberhasilan. Seperti yang dikatakan oleh Khalil Gibran, bahwa anak itu adalah milik jaman, yang bagikan anak panah. Orang tua hanya sebagai busur yang memberi kekuatan, tetapi tidak bisa memaksakan kepada anah panah tersebut untuk jatuh dimana.

Surabaya, 8 Juli 2020
Belajar bersyukur

Posting Komentar

0 Komentar