APENSO INDONESIA

header ads

MERDEKA BELAJAR : PENDIDIKAN UNTUK APA DAN SIAPA

MERDEKA BELAJAR : PENDIDIKAN UNTUK APA DAN SIAPA


Oleh : Warsono
Guru Besar dan Mantan Rektor UNESA
(Universitas Negeri Surabaya)


    Kebijakan Mendikbud tentang merdeka belajar sedang menjadi wacana yang diperbincangkan banyak orang. Terlepas dari perdebatan tentang siapa yang sebenarnya memiliki konsep tersebut, namun pertanyaan mengapa harus merdeka belajar? Sebenarnya pendidikan ini untuk apa dan siapa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk didiskusikan.

    Jawaban atas pertanyaan dasar tentang pendidikan untuk apa dan siapa, bisa ditemukan dalam sistem pendidikan nasional. Jika menyimak undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Dari tujuan tersebut bisa dikatakan bahwa pendidikan adalah untuk kepentingan peserta didik dan negara.

    Bagi peserta didik, pendidikan merupakan proses untuk membantu mengembangkan potensi yang dimiliki agar berakhlaq mulia dan mandiri sehingga mampu mengambil peran di masa depan. Bagi negara, pendidikan dimaksudkan untuk membentuk warga negara yang demokratis dan bertangungjawab. Dari tujuan tersebut kemudian dioperasionalkan dalam kurikulum nasional yang di dalamnya ada banyak mata pelajaran sebagai panduan dalam persekolahan yang menjalakan proses pendidikan.

    Meskipun tujuan pendidikannya tetap sama, sejak tahun 2003 sampai saat ini telah beberapa kali terjadi pergantian kurikulum, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK) tahun 2004; kurikulum satuan tingkat pendidikan (KTSP) tahun 2006; kurikulum 2013, dan saat ini muncul wacana kurikulum 2020. Perubahan kurikulum dalam pendidikan sebenarnya merupakan hal yang wajar, karena harus disesuaikan dengan perubahan dan kebutuhan di masa depan. Namun jika perubahan itu dilakukan setiap pergantian menteri tentu perlu dikritisi. Apakah kurikulum yang ada memang sudah selayaknya diubah atau hanya karena perbedaan cara pandang dari menteri yang baru dengan yang lama. Jangan sampai ada kesan negatif bahwa ganti menteri ganti kurikulum.

    Perubahan apapun yang dilakukan tentu memiliki tujuan. Memang, meskipun tujuannya sama, cara untuk mencapai tujuan tersebut bisa berbeda, tergantung dari cara berpikir masing-masing. Oleh karena itu, adanya perubahan kurikulum setiap ada pergantian menteri bisa dimaklumi, karena cara pandang yang berbeda. Persoalannya adalah apakah kurikulum tersebut bisa mengantarkan peserta didik menjadi manusia (pribadi) dan warga negara yang baik, atau seperti yang dimaksudkan dalam sisdiknas.
Anak bukan obyek pendidikan, tetapi subyek pendidikan. Setiap anak mempunyai hak atas pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi dirinya agar bisa bertahan dan hidup lebih baik.
 
    Pendidikan yang pertama di peroleh oleh anak berasal dari lingkungan keluarga yang mengajarkan bagaimana cara untuk bertahan hidup dengan berkarakter. Pada masyarakat tradisional yang belum mengenal persekolahan anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari orang tuanya, sebagai modal untuk kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pekerjaan atau profesi anak diwarisi dari orang tuanya. Anak yang lahir dari keluarga tukang kayu akan menjadi tukang kayu juga. Inilah yang konon, nama keluarga di Inggris dikaitkan dengan profesi atau pekerjaannya, seperti Wood (tukang kayu); Baker (tukang roti) yang kemudian diwariskan kepada anaknya sebagai nama keluarga.

    Dalam masyarakat modern, pendidikan juga dilakukan di sekolah dengan kurikulum yang memberi jaminan kompetensi yang akan dihasilkan. Dalam sistem persekolahan anak “dipaksa” untuk mengikuti kurikulum yang sudah ditentukan, sehingga Ivan Ilich mengkritik sekolah sebagai lembaga yang memaksa. Meskipun demikian, sekolah juga memberi peluang (enableing) kepada peserta didik untuk memilih sesuai dengan potensi dan minatnya masing-masing. Adanya jenis sekolah dan jurusan di sekolah merupakan peluang yang diberikan kepada peserta didik untuk dipilih.

    Meskipun demikian dalam sistem persekolahan, peserta didik tidak bisa bebas memilih, karena ada kepentingan negara diwujudkan dalam kurikulum yang dikenal dengan kurikulum nasional, yang didalamnya memuat mata palajaran atau mata kuliah yang wajib diikuti. Negara memiliki kepentingan membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (bisa dibaca sebagai warga negara yang baik). Negara menutut agar warga negara memiliki tanggungjawab, minimal terhadap kelangsungan hidupnya sendiri, agar tidak membebani negara. Apalagi jika warga negara tersebut bisa memberi kontribusi terhadap kemajuan dan kejayaan negara, itu sangat diharapkan. Oleh karena itu, kehadiran negara juga diwujudkan dalam bentuk pembeayaan pendidikan, khususnya di sekolah atau perguruan tinggi negeri.

    Pergulatan antara kepentingan negara dan peserta didik ini tampaknya yang harus dicari titik komprominya. Peserta didik sebagai individu memiliki otonomi dan kebebasan sehingga tidak bisa sepenuhnya dipaksa oleh negara (struktur). Jika meminjam istilah Anthoni Gidden, stuktur itu selain bersifat memaksa (constrain), tetapi sekaligus juga memberi peluang (enableing). Oleh karena itu, dalam konsep merdeka belajar, dominasi negara terhadap kompentisi peserta didik dikurangi dengan memberi kebebasan kepada peserta didik atau mahasiswa untuk memilih mata kuliah sesuai dengan peminatannya.

    Meskipun demikian kebebasan yang diberikan kepada peserta didik atau mahasiswa harus disertai dengan pemahaman tentang potensi dirinya dan peluang profesi atau pekerjaan di masa depan. Dalam logika waktu, apa yang akan terjadi di masa depan tidak bisa dilepaskan dengan apa yang dilakukan saat ini. Oleh karena itu, keputusan untuk memilih apapun harus disertai dengan pertimbangan dan analisis yang matang dan mendalam, bukan sekedar ikut-ikutan.

    Kebebasan untuk memilih dalam pendidikan sebenarnya sudah harus dimulai sejak tingkat sekolah menengah atas, sebab mereka sudah memasuki usia kerja. Menurut BPS anak yang berumur 15 tahun ke atas sudah termasuk usia kerja. Ini berarti pada usia tersebut anak harus sudah mulai menyiapkan diri untuk hidup mandiri. Sejak memasuki sekolah menengah anak harus mempertimbangkan potensi dirinya, termasuk kemampuan membiayai pendidikan dalam menentukan pilihan sekolah, apakah akan mengikuti pendidikan vokasi atau akademik. Bagi yang tidak memiliki sumber daya ekonomi dan kemampuan intelektual lebih baik memilih pendidikan vokasi, karena akan memperoleh keterampilan sebagai bekal untuk bekerja. Selain itu, bidang pekerjaan yang membutuhkan keterampilan lebih luas, dari pada yang membutuhkan kemampuan akademik.

    Namun, kebebasan yang diberikan kepada peserta didik dalam merdeka belajar, bukan berarti mengurangi tanggungjawab negara terhadap pendidikan. Justru tanggungjawab negara harus semakin ditingkatkan. Tanggungjawab negara adalah menyediakan sekolah-sekolah kejuruan atau pendidikan vokasi yang sangat diperlukan dalam rangka mecapai tujuan pendidikan nasional, khususnya kemandirian warga negara. Sebagai konsekwensinya, pemerintah harus lebih banyak membuka sekolah-sekolah kejujuran atau pendidikan vokasi di perguruan tinggi sesuai dengan perkembangan dan difersifikasi pekerjaan yang terjadi di masa depan.

    Pemerintah tidak bisa menyerahkan penyediaan sekolah kejuruan kepada pihak swasta saja, karena mereka pada umumnya tidak memiliki cukup dana untuk menyelenggarakan sekolah kejuruan atau pendidikan vokasi yang baik. Sekolah kejujuran dan pendidikan vokasi yang baik membutuhkan biaya yang mahal, karena harus didukung dengan peralatan yang cukup dan teknologi yang terbaru. Tanpa didukung dengan bengkel, laboratorium maupun teknologi yang baru, sekolah kejuruan tidak mampu menghasilkan tenaga-tenaga terampil. 
Surabaya, 13 Juli 2020

Posting Komentar

0 Komentar