APENSO INDONESIA

header ads

MEREVOLUSI “MENTAL KERE”

MEREVOLUSI “MENTAL KERE”


Oleh : Warsono
Guru Besar & Mantan Rektor UNESA
(Universiras Negeri Surabaya)

   Mungkin kita bertanya, mengapa Indonesia sebagai negara yang kaya dengan sumber daya alam, sejarah yang gemilang dan masyarakat yang relegius, masih sebagai negara yang berkembang dan miskin sampai sekarang. Kekayaan alam Indonesia telah mengudang bangsa Eropa untuk datang dan menjajah Indonesia (nusantara waktu itu). Secara historis, di Indonesia (Nusantara) pernah ada kerajaan maritime yang sangat besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Sedangkan Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang relegius, yang memiliki agama-agama besar (Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha) sebagai sumber moralitas. 

   Salah satu penyebab Indonesia belum maju adalah faktor mental bangsa. Para ilmuwan seperti, Koentjaraningrat telah mengingatkan bahwa bangsa Indonesia memiliki mental penerabas. Husin Alatas menyebutkan bangsa Indonesia memiliki mental malas. Mental-mental tersebut jelas sangat menghambat kemajuan dan menggambarkan karakter yang tidak baik. Padahal kemajuan suatu bangsa saat ini diyakini lebih banyak ditentukan oleh karakter daripada kompetensi atau sumber daya alam. Oleh karena itu, di negara maju seperti Jepang, karakter menjadi bagian yang diutamakan dalam pendidikan.

   Sebagai contoh, perilaku menyontek di Jepang dianggap sebagai perilaku yang sangat memalukan. Bahkan ketika ada suatu mahasiswa yang menyontek, yang merasa malu bukan hanya mahasiswa yang bersangkutan, tetapi seluruh pimpinan perguruan tinggi tersebut merasa malu, karena gagal mendidik mahasiswanya.
Karakter yang kurang mendukung kemajuan tersebut sampai saat ini masih menjadi bagian dari budaya bangsa kita. Perilaku menyontek masih terjadi di seluruh tingkatan satuan pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Bahkan perilaku korup baik uang maupun waktu masih banyak terjadi di kantor-kantor pemerintah. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada awal pemerintahannya mencanangkan program revolusi mental.

   Namun selama lima tahun pemerintahan Joko Widodo pada pariode pertama, revolusi mental belum menunjukan hasil yang signifikan. Hal ini bisa disebabkan kurang operasionalnya konsep revolusi mental. Mental apa yang akan direvolusi dan diubah menjadi apa perlu dirumuskan secara jelas. Ketidakjelasan operasional konsep menyebabkan program yang akan dilakukan juga tidak jelas. Akibatnya hasilnya juga kurang optimal.

   Ada persoalan mental yang sebenarnya sangat menghambat kemajuan dan bisa menjadi sumber konflik sosial maupun politik yaitu “mental kere” (mental miskin). Mental ini menjadi penyebab korupsi, apalagi jika mental ini berbarengan dengan mental penerabas dan malas. Perilaku korupsi berakar dari “mental kere”, yang bisa melekat kepada siapa saja, termasuk para pejabat dan orang kaya sekalipun. Selama mental ini masih terus ada, terutama pada diri para pejabat, korupsi di Indonesia akan terus berlangsung.

   “Mental kere” merupakan mental yang hanya mau menerima tetapi tidak mau memberi. Mental ini akan tampak dalam bentuk sikap pelit atas apa yang dimiliki dan selalu melihat milik orang lain. Bahkan mental seperti ini membawa konsekuensi sikap yang selalu kurang, tidak mau bersyukur atas apa yang telah diperoleh. Orang yang terjangkit “mental kere” ini akan selalu merasa kurang, meskipun mereka sudah kaya atau menduduki jabatan yang tinggi. Bahkan pejabat yang bermental kere seringkali memanfaatkan jabatannya untuk mengambil uang negara (korupsi).

   “Mental kere” ini juga menjadi sumber konflik yang potensial, karena mereka tidak pernah mau memberi, termasuk memberi maaf, atau kesempatan kepada orang lain. Lihat saja apa yang terjadi di ruang-ruang publik seperti pada saat antri mengambil sesuatu atau di jalan raya. Mereka tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain, tetapi malah menerabas antrian atau terus memaksa orang lain untuk memberi jalan.

   “Mental kere” ini harus direvolusi menjadi “mental kaya” yaitu mental yang suka memberi atau berbagai kepada orang lain (altruisme). Jika mental ini bisa dibangun dan dimiliki oleh setiap warga bangsa, korupsi akan bisa dikikis. Setiap orang akan mengendalikan diri untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Mereka lebih suka dan bangga jika bisa memberi daripada meminta apalagi mengambil sesuatu yang bukan haknya.

   “Mental kaya” ini harus menjadi bagian utama dari target revolusi mental. “Mental kaya” harus ditanamkan sejak kecil melalui pembiasaan dan keteladanan. Anak-anak harus dibiasakan untuk memberi termasuk memberi senyum, maaf, kesempatan apalagi memberi hal yang bersifat material seperti uang, atau sebagian dari barang yang dimiliki. Pembiasaan pada anak harus disertai dengan keteladan.

   Memang merubah mental bukan hal yang mudah dan tidak bisa terjadi secara instan, tetapi membutuhkan usaha yang terprogram secara terus menerus dan waktu yang lama. Namun hal yang lebih utama adalah harus dimulai dan dari hal-hal yang jelas dan operasional. Merevolusi “mental kere” menjadi “mental kaya” merupakan hal yang harus segera dilakukan sejak usia dini.

   Peran keluarga dalam membangun karakter, termasuk membangun “mental kaya” sangat strategis, karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan karakter. Anak pertama kali memperoleh pendidikan karakter dari orang tua. Sikap dan perilaku orang tua akan menjadi model karakter anak. Meskipun anak belum mengetahui, melalui proses Nonthoni, Nitheni, dan Niru (meminjam teori Ki Hadjar Dewantara) anak memperoleh pendidikan dari lingkungannya. Oleh karena itu, para orang tua harus hati-hati dalam berucap, bersikap dan bertindak dihadapan anak, karena apa yang diucapkan, dan dilalukan secara langsung atau tidak langsung akan ditiru oleh anak.

   Selain keluarga, lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) juga memiliki peran yang strategis. Ketika lingkungan keluarga tidak bisa menjalankan pendidikan karakter, lembaga PAUD yang harus mengambil peran pendidikan keluarga. Kebiasaan dan keteladanan di lembaga PAUD akan menjadi fundamen karakter anak di masa depan. Karakter tidak bisa diajarkan, tetapi harus dibiasakan melalui keteladanan. Jika kita mau peduli terhadap kemajuan bangsa, maka pendidikan karakter harus dilakukan sejak di keluarga. Ini berarti sejak kecil anak harus dibiasakan memiliki “mental kaya”. Tampaknya, lebih baik menjadi orang miskin tetapi bermental kaya daripada menjadi orang kaya tetapi bermental kere (miskin).

Surabaya, 26 Juli 2020
Belajar bersyukur

Posting Komentar

0 Komentar