APENSO INDONESIA

header ads

SEANDAINYA AKU ANAK ORANG KAYA

 SEANDAINYA AKU ANAK ORANG KAYA


Oleh: Warsono
Guru Besar dan Mantan Rektor Unesa (Universitas Negeri Surabaya)

Judul di atas, mungkin seperti kayalan, karena salah satu ciri dari kayalan adalah mengandaikan. Ingat Lagu Oppi Adaresta yang berjudul  Cuma kayalan, yang salah satu liriknya berbunyi andai aku jadi orang kaya. Dalam  lagu tersebut meceritakan kayalan  menjadi orang kaya. Dengan menjadi orang kaya. maka tidak usah bekerja dan banyak keinginan yang bisa dipenuhi.

Namun judul  dalam tulisan tersebut bisa juga mewakili keprihatinan yang dialami oleh para  peserta didik dalam pebelajaran secara daring.  Kisah yang menimpa Lintang Fitrah siswi kelas 5 SD  yang tinggal di daerah Sememi Benowo Kota Surabaya yang dimarahi ibunya karena menghabiskan pulsa (Lintas Jatim.com 17 Juli 2020) merupakan fenomena  yang mengusik kita semua. Apa yang dirasakan oleh Lintang mungkin juga dialami oleh banyak anak yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Seandainya kita bisa mendengarkan pikiran Lintang, ia mungkin   juga  berkhayal seperti lagu Oppi.

Pandemik Covid-19 telah menimbulkan  dampak yang tidak  diharapkan oleh anak-anak seperti Lintang. Meraka bukan hanya tidak bisa sekolah dan bertemu dengan teman-temannya, tetapi juga mengalami kesulitan untuk bisa mengakses pelajaran atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya. Keterbatasan ekonomi orang tua, menyebabkan mereka mengalami kesulitan mengikuti pembelajaran secara daring karena keterbatasan jaringan maupun pulsa.

Kebijakan  pemerintah utuk melakukan proses belajar mengajar secara daring telah menambah beban  secara ekonomi kepada kelompok masyarakat lapisan bawah. Pembelajaran daring jelas membutuhkan sarana teknologi seperti HP atau Laptop.

Sementara, tidak semua keluarga mampu menyediakan sarana tersebut. Seandainya mereka memiliki HP belum tentu jumlahnya lebih dari satu. Jika dalam keluarga tersebut hanya memiliki satu HP sementara mereka memiliki anak yang masih sekolah lebih dari satu, tentu akan rebutan karena semua harus mengikuti pembelajaran secara daring. Seadainya mereka memili HP lebih dari satu, belum tentu semuanya compatible untuk mengakses internet. Seandainya HPnya cukup compatible untuk daring, mereka masih dihadapkan pada masalah pembelian pulsa.

Setiap kebijakan selalu  menimbulkan dampak negatif, sehingga perlu  ada analisis  dampak atas suatu  kebijakan. Apa yang dialami Lintang dan dirasakan oleh orang tuanya merupakan dampak dari kebijakan  dinas pendidikan tenntang pembelajaran secara daring . Secara positif, kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi penularan dan penyebaran Covid-19, tetapi secara negative telah menimbulkan permasalah bagi mereka yang  kurang mampu secara ekonomi.

Dampak tersebut bukan hanya penambahan anggaran belanja keluarga, tetapi juga hak anak untuk memperoleh akses pendidikan bisa terganggu.  Dengan keterbatasan ekonomi orang tua, anak tidak bisa memperoleh materi pelajaran secara maksimal. Hal ini tentu berbeda dengan mereka yang berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi. Bagi mereka pembelajaran secara daring tidak banyak mengurangi haknya untuk memperoleh pelajaran dari guru.

Padahal pendidikan merupakan hak setiap anak, sehingga mereka bisa memperoleh pelayanan yang sama dari sekolah atau guru. Namun  dengan adanya kebijakan bahwa  proses belajar mengajar harus dilakukan secara daring, menyebabkan “ketidakadilan” bagi peserta didik dalam memperoleh hak pemebelajaran. Bagi mereka yang lahir dari keluarga yang beruntung secara ekonomi (kaya) tidak terlalu banyak masalah. Mereka bisa mengakses informasi sebagai sumber belajar dari internet. Mereka juga bisa berkomunikasi dengan guru secara mudah karena didukung oleh  sarana dan dana.

Tetapi bagi mereka yang  berasal dari keluarga yang miskin,  seperti Lintang, jelas pembelajaran secara daring menimbulkan banyak masalah karena keterbatasan sarana dan dana.

Kebijakan sering kali hanya bertolak dari satu sisi, sementara sisi yang lain sering diabaikan. Jika ini yang dilakukan, kebijakan akan selalu meninggalkan masalah baru, yang mungkin mungkin bisa lebih besar. Oleh karena itu, dampak negative dari suatu kebijakan harus diantisipasi dan dicarikan solusi, agar kebiajakan yang dimaksudkan untuk mengetasi suatu masalah justru menimbulkan masalah baru yang lebih buruk.  Moto Pegadaian: “mengatasi masalah tanpa masalah”, tampaknya perlu diterapkan dalam proses belajar mengajar  di era Covid-19. Dalam arti pencegahan penyebaran dan penularan Covid-19 bisa diatasi, tetapi hak setiap anak untuk memperoleh pelayanan pendidikan juga bisa dipenuhi.

Langkah yang bisa dilakukan antara lain adalah memberi bantuan pembelian pulsa keapda mereka yang beanr-benar kurang mampu. Hal ini dibutuhkan kejujuran dan data yang valid termasuk kriteria yang dikategorikan kurang mampu. Kebijakan ini juga masih menghadapi kendala, yaitu ketersediaan jaringan internet atau kepemilikan sarana (HP atau Laptop).  Kebijakan ini bisa menimbulkan debateble yang berkepanjangan.

Langkah yang juga bisa dilakukan dengan mudah adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik yang kurang mampu datang ke sekolah   untuk berinteraksi dengan guru. Agar tidak terjadi penularan dan penyebaran Covid-19, diterapkan protool kesehatan, (wajib memakai masker, menjaga jarag secara fisik, dan memcuci tangan). Peserta didik yang datang ke sekolah wajib mematuhi protokol kesehatan.  Sedang untuk mengurangi terjadinya kerumuan atau kepadatan bisa dilakukan penjawalan dan giliran waktunya. Memang konsewensinya setiap hari harus ada guru yang piket datang di sekolah untuk memberi pelayanan kepada peserta didik. Semoga moto Pegadaian bisa diterapkan dalam mengambil kebijakan dalam pembelajaran di era pandemic covid-19.

Surabaya 20 Juli 2020

Posting Komentar

0 Komentar