APENSO INDONESIA

header ads

ANTARA JENANG DAN JENENG

ANTARA JENANG DAN JENENG


Oleh : Warsono
Mantan Rektor dan Guru Besar UNESA
(Universitas Negeri Surabaya)

   Ketika lulus SD, saya ditanya orang tua (bapak saya), Nak kamu memilih jenang atau jeneng. Dalam Bahasa Jawa jenang adalah bubur, yang biasa dijual sebagai menu sarapan seperti bubur Jakarta, atau bubur Menado. Sedangkan jeneng secara harfiah adalah nama, misal jenengmu sopo (namamu siapa). Sebagai anak kecil tentu saya memilih jenang, karena hal yang kongkrit dan biasa saya makan hampir setiap hari ketika sarapan.

   Namun bapak saya mengatakan, kalau kamu memilih jenang, jenengmu nanti bisa rusak. Tetapi jika kamu memilih jeneng, maka jenangnya akan datang sendiri. Sebagai anak kecil, saya belum bisa memahami pernyataan yang disampaikan oleh bapak saya. Oleh karena itu, saya juga tidak memperdulikan nasehat tersebut.

   Ketika saya memasuki sekolah menengah Atas (SMA), Bapak kembali mengingatkan dengan mengatakan, jaga jenengmu jangan sampai rusak. Pada saat ini saya mencoba untuk bertanya apa yang dimaksudkan dengan jenang dan jeneng. Pada saat itu bapak saya memberi penjelasan apa yang dimaksud dengan jenang dan jeneng. Jenang itu sesuatu yang tampak tetapi mudah hilang. Sedangkan kalau jeneng itu tidak tampak tetapi tidak mudah hilang.

   Sampai di situ, saya juga masih belum sepenuhnya paham apa sebenarnya yang dimaksudkan. Saya mencoba bertanya, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan jenang dan jeneng. Ketika saya desak dengan pertanyaan tersebut, bapak kemudian menjelasan bahwa yang dimaksud jenang itu adalah bondho (harta kekayaan). Sedangkan yang dimaksud dengan jeneng adalah moralitas, terutama kejujuran.

   Dari penjelasan tersebut, saya mulai sedikit paham, apa yang dipesankan bapak saya. Perintah menjaga jeneng, berarti menjaga moralitas dengan terus jujur dalam segala hal, termasuk dalam pendidikan. Perintah bapak tersebut tetap saya pegang di sekolah terutama pada saat ulangan. Saya terus berusaha jujur pada diri sendiri, sehingga saya berusaha tidak nyontek saat ulangan, meskipun ada teman-teman yang menyontek karena tidak tahu jawabannya. Allhamdullilah sampai menyelesaiakan studi di perguruan tinggi insyaAllah saya belum pernah nyontek, karena perilaku menyontek merupakan bentuk ketidakjujuran kepada diri sendiri dan guru.     
   Ketika saya mulai kuliah, apa yang disampaikan orang tua, saya diskusikan kembali dengan beliau. Bapak saya memberi contoh beberapa orang yang mengejar kekayaan sampai melakukan perbuatan yang melanggar moral (menipu, tidak jujur), sehingga di kampung dikenal dengan nama “Wongso Gemblung”. Meskipun orang tersebut kaya, tetapi dia dikenal sebagai orang yang tidak baik, suka menipu dan tidak jujur. Ketika orang tersebut meninggal tidak lama kemudian hartanya terus berkurang dan akhirnya habis. Namun sebutan sebagai orang yang tidak jujur dan penipu (Gemblung) tadi tidak hilang di mata masyarakat.

   Di sisi lain, orang tua saya juga memberi contoh orang yang jujur dan berperilaku yang baik penuh dengan sopan santun, bekerja dengan ikhlas. Orang tersebut banyak dicari orang untuk diberi pekerjaan. Semasa hidupnya dia dikenal sebagai orang yang baik, dan ketika orang tersebut sudah meninggal dunia dia tetap dikenal sebagai orang yang baik dan dijadikan teladan di masyarakat.

   Apa yang disampaikan oleh bapak saya tadi merupakan suatu pesan bahwa hidup harus memilih. Apa yang ingin kita cari, yang dalam bahasa agama memilih kehidupan dunia atau kehidupan akhirat. Dalam bahasa sosial (sejarah) kita memilih meninggalkan harta kekayaan (materi) atau meninggalkan nama yang baik. Atau kata lain memilih kenikmatan jasmani atau rohani, memilih hidup sejahtera atau hidup bahagia. Semua tentu membawa konsekuensi yang berbeda. Tentu pilihan yang paling diharapkan semua orang adalah bisa memiliki dan meninggalkan keduanya yaitu jenang dan jeneng, namun dalam realitanya kedua hal tersebut sulit disatukan.

   Pilihan-pilihan tersebut memang berbeda, seperti jenang dan jeneng. Kekayaan, kesejahteraan dan kehidupan dunia bagaikan jenang yang tampak bisa dilihat orang dan dinikmati. Kekayaan, seperti rumah mewah, mobi mewah dan berapa jumlahnya jelas merupakan hal yang nyata dan bisa dilihat. Kekayaan tersebut merupakan simbol kesejahteraan, karena banyak kebutuhan, terutama kebutuhan jasmani yang bisa dipenuhi. Namun kekayaan tersebut hanya dinikmati di dunia dan tidak bisa dibawa mati.

   Sedangkan jeneng (nama) merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi bisa diingat dan dinilai. Sama halnya dengan kebahagiaan, tidak bisa dilihat dan hanya bisa dirasakan oleh yang bersangkutan, karena kebahagiaan ada di dalam hati. Orang yang tertawa belum tentu bahagia, begitu juga orang yang menangis belum tentu sedih, karena ada menangis yang bahagia. Begitu juga kehidupan akhirat adalah wilayah keyakinan yang bersifat pribadi, karena belum dialami.
Sekali lagi hidup merupakan pilihan (life is choice). Pilihan tersebut kadang terasa sulit dan dilematis, namun kita harus tetap memilih. Sesuai dengan pesan orang tua, setelah selesai kuliah saya lebih memilih jeneng daripada jenang. Pilihan tersebut berbeda dengan waktu saya baru lusus SD yang lebih memlih jenang. Perubahan pilihan tersebut sejalan dengan perkembangan kemampuan nalar dan proses refleksi yang saya lakukan.

   Ternyata untuk tetap konsisten pada pilihan jeneng juga tidak mudah. Berbagai godaan selalu ada baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Untuk tetap konsisten dibutuhkan komitmen yang kuat dari diri sendiri maupun keluarga, karena keluarga juga bagian dari yang bisa menggoda. Bahkan kita juga harus tetap sabar mendengar “omongan” orang yang selalu menilai dari kepentingan mereka sendiri. Orang yang tidak senang terhadap kita pasti selalu ada, meskipun kita sudah berbuat baik.

   Mencari figure orang yang konsisten dengan memilih jeneng daripada jenang juga tidak mudah, karena jumlahnya memang tidak banyak. Namun demikian, mungkin bisa disebut antara lain, almarhum Hoegoeng Imam Santoso mantan Kapolri di era Orde Baru, almarhum Baharuddin Lopa, Gus Dur, dan Prof. Mahmud Zaki mantan rektor ITS, adalah orang-orang yang lebih memilih jeneng daripada jenang.   

   Selamat memilih, karena hidup memang harus memilih. Semoga bisa memilih yang terbaik.

Surabaya, 2 Agustus 2020 
Belajar hidup

Posting Komentar

0 Komentar