APENSO INDONESIA

header ads

BELAJAR DARI RUMAH : BAGAIMANA?

BELAJAR DARI RUMAH : BAGAIMANA?


Oleh : Warsono
Guru Besar & Mantan Rektor UNESA
(Universitas Negeri Surabaya)


   Sampai akhir bulan Agustus 2020, penularan Covid-19 masih terus terjadi di berbagai daerah. Kondisi ini membuat pemerintah mengambil keputusan untuk tetap melakukan kebijakan belajar dari rumah. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penularan di lingkungan sekolah. Selain itu, ketakutan sebagian orang tua akan terjadinya cluster baru jika sekolah dibuka juga menjadi salah satu alasan. Sebagian orang tua menyatakan lebih baik anaknya tidak naik kelas dari pada terpapar covid-19. Wacana “urusan anak kok coba-coba” menjadi alasan orang tua untuk tidak mengijinkan anaknya masuk sekolah sebelum pandemi covid-19 benar-benar bisa dikendalikan.

   Pandemi Covid-19 bukan hanya menimbulkan dilema antara kesehatan dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan problem dalam pendidikan. Hak anak untuk memperoleh pembelajaran di sekolah, harus dialihkan ke rumah. Memang mencegah penyebaran covid-19 yang bisa mengakibatkan kematian perlu mendapat prioritas, tetapi bagaimana agar pendidikan juga tetap berjalan sesuai dengan tujuannya juga perlu diupayakan. 

   Kebijakan belajar dari rumah sebenarnya tidak masalah, karena keluarga juga merupakan lembaga pendidikan. Persoalannya yang ditransfer ke rumah bukan pendidikan, tetapi sistem persekolahan dengan kurikulum yang dirancang untuk untuk mencapai suatu kompetensi tertentu. Sementara keluarga jelas bukan sekolah, karena tidak memiliki sarana prasarana untuk menunjang proses belajar mengajar.

   Sebagai lembaga pendidikan keluarga merupakan proses internalisasi nilai dan norma-norma sehingga membentuk perilaku yang sesuai dengan norma sosial. Pendidikan di keluarga tidak dimaksudkan untuk mencapai suatu kompetensi tertentu, tetapi lebih ditujukan untuk mengantarkan anak memasuki kehidupan sosialnya (masyarakat). Seandainya terjadi transfer pengetahuan dan keterampilan sebatas pada apa yang dimiliki dan dikuasai oleh orang tua. 

   Dalam masyarakat tradisional anak belajar dari orang tuanya, sehingga profesi (pengetahuan dan keterampilan) anak biasanya mengikuti profesi orang tuanya. Seorang anak yang lahir di lingkungan keluarga tukang kayu, biasanya juga menjadi tukang kayu. Begitu juga dengan profesi lainnya.

   Hal ini berbeda dengan sekolah yang memang dirancang dalam suatu kurikulum untuk mencapai suatu kompetensi atau keterampilan tertentu. Selain itu, di sekolah anak diajarkan bagaimana cara berpikir yang tidak diajarkan di rumah. Di semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas ada mata pelajaran matematika, yang mengajarkan proses berpikir secara deduktif. Dan selama ini, matematika menjadi momok bagian sebagian besar siswa. Sementara tidak semua orang tua mengerti matematika, sehingga ketika anak mengalami kesulitan memahami matematika, mereka juga tidak bisa membantu menjelaskannya.

   Di sisi lain, sekolah juga dilengkapi dengan sarana prasarana serta guru untuk mengantarkan peserta didik mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Di sekolah, pembelajaran proses berpikir ilmiah ditopang dengan laboratorium untuk pembuktian kebenarannya. Sementara di rumah jelas tidak ada laboratorium yang dirancang untuk membuktikan proses berpikir ilmiah. Bagi peserta didik sekolah kejuruan semakin dihadapkan masalah yang semakin rumit ketika belajar dari rumah karena tidak ada bengkel untuk mengasah keterampilannya.

   Oleh karena itu, pemindahan proses belajar mengajar dari sekolah ke rumah menimbulkan persoalan khususnya di keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Persoalan tersebut antara lain adalah pertama, tidak semua orang tua bisa menjadi guru, karena tidak memiliki kompetensi seperti yang disyaratkan untuk guru. Kedua, tidak semua orang tua mampu menyediakan fasiltas dan sarana untuk proses belajar mengajar. Hal ini tentu tidak terjadi di keluarga yang secara ekonomi mampu. Mereka mampu menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk belajar di rumah.

   Perbedaan sosial ekonomi dari orang tua siswa menimbulkan ketimpangan dalam proses belajar di rumah, yang pada gilirannya berdampak kepada output-nya atau capaian belajar. Hal ini hampir sama dengan ketika membandingkan hasil Ujian Nasional antara sekolah di Jawa dengan di luar Jawa, atau sekolah di kota dengan di daerah pedesaan. Jelas hasilnya akan timpang, karena sarana prasarana dan kualitas sumber daya manusia berbeda. 

   Oleh karena itu, jika kemudian penilaian hasil belajar diukur dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan sesuai dengan kurikulum jelas akan menimbulkan ketidakadilan. Penilaian seharusnya dilakukan pada usaha anak untuk belajar dikaitkan dengan hasil yang dicapai dari usaha tersebut. Penghargaan terhadap usaha setiap anak menjadi hal penting yang harus dihargai ketika belajar dari rumah.  

   Ada pertanyaan yang menggelitik dari salah seorang kepala sekolah beberapa tahun lalu. Beliau bertanya mana yang lebih baik, antara sekolah yang ketika siswa masuk (raw input) dengan standar nilai 5 tetapi pada saat ujian nasional (output) mereka bisa mencapai nilai 8. Dibanding dengan sekolah yang siswanya ketika masuk (raw input) nya sudah memiliki standar nilai 8 dan waktu ujian nasional mencapai nilai 10?. Jelas jika dilihat dari angka hasil ujian nasional, nilai 10 jelas lebih baik dari 8. Tetapi jika dilihat dari delta (usaha) dari 5 menjadi 8 lebih besar dari pada 8 menjadi 10. 

   Pada umumnya sekolah-sekolah di daerah atau di pedesaan karena keterbatasan sarana prasarana dan sumber daya manusia rata-rata input-nya lebih rendah dibanding dengan sekolah di perkotaan. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial ekonomi orang tua siswa saat ini, karena kesenjangan ekonomi di Indonesia masih cukup tinggi. Rasio ini di Indonesia masih mencapai angka 0,381 dari 0 sampai 1.   

   Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian adalah dalam belajar dari rumah sebaiknya lebih difokuskan kepada proses berpikir scientific (ilmiah), karena cara berpikir seperti ini yang akan tetap dibutuhkan dan relevan untuk segala perubahan. Dorong-lah anak untuk mengembangkan pemikirannya secara bebas, agar menjadi anak yang kritis, kreatif dan inovatif. Jika pembelajaran hanya sekedar difokuskan pada transfer pengetahuan, sekarang sudah dengan mudah bisa dicari di google. Jika pembelajaran di fokuskan kepada ilmu atau teori, pada saatnya akan usang. Sehingga jika pembelajaran hanya transfer pengetahuan dan ilmu, apa yang kita lakukan tidak akan banyak memberi manfaat di masa depan. 

   Oleh karena itu, penilaian pada saat belajar dari rumah, juga harus didasarkan kepada bagaimana cara siswa membangun pemikiran secara ilmiah. Penilaian-pun didasarkan kepada kemampuan anak membangun argumentasi berdasarkan ke runtutan (koherensi) dan konsistensi, bukan didasarkan pada benar salah atas suatu pengetahuan yang bersifat menghafal. Pertanyaan yang berkaitan dengan kausalitas (mengapa) dan proses (bagaimana) menjadi fokus dalam berpikir ilmiah. Dengan demikian konsep belajar dari rumah tetap relevan dengan pendidikan dan sesuai dengan esensi merdeka belajar yang dicanangkan oleh Mendikbud. Semoga !!

Surabaya 23 Agustus 2020




Posting Komentar

0 Komentar