APENSO INDONESIA

header ads

Pendidikan Masa Depan

Pendidikan Masa Depan


Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar ITS

 
   Saat pandemi ini memaksa Belajar Dari Rumah, bagi keluarga muslim ini perlu dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk Belajar di Rumah. Segera diingat bahwa Ibu di rumah adalah madrasah yang pertama dan utama. Penelantaran keluarga sebagai satuan edukatif memiliki konsekuensi merusak dalam jangka panjang. Syarat budaya bagi bangsa yang merdeka melalui pendidikan tidak pernah diupayakan oleh persekolahan. Persekolahan telah berhasil menciptakan masyarakat buruh, bukan warga negara yang merdeka. Bahkan kemerdekaan bertentangan dengan tujuan utama persekolahan.

   Sejak awal 1970-an persekolahan milik Pemerintah dimanapun di planet ini telah menggusur pendidikan menjadi proyek indoktrinasi paksa secara massal. Brain washing massal ini diperlukan bagi sebuah masyarakat baru yang konsumtif yang dibutuhkan oleh industrialisasi. Persekolahan adalah instrumen teknokratik bukan instrumen pencerdasan kehidupan bangsa. Tujuan persekolahan ini adalah menyiapkan tenaga kerja yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk terus bekerja untuk kepentingan pemilik modal.

   Dalam rangka menaklukkan ummat Islam, persekolahan paksa massal adalah proyek sekulerisasi yang terstruktur, sistemik dan masif. Dalam proses ini keluarga dan masjid sebagai simpul-simpul kecerdasan mandiri ummat digusur untuk dilumpuhkan secara politik dan ekonomi. Ummat Islam menjadi kelompok buruh yang sekaligus a-politis. Dikatakan bahwa politik itu kotor dan berdagang itu penuh tipu daya. Akibatnya, walaupun jumlahnya besar, tapi kaum muslimin bukan pemain utama ekonomi dan politik.

   Melalui kurikulum nasional yang seragam, persekolahan adalah media indoktrinasi untuk kepentingan investasi sejak Penanaman Modal Asing dibuka besar-besaran pada 1967 melalui UU No.1/1967 tentang PMA. Persekolahan dirancang untuk kepentingan pemerintah, bukan warga belajar. Guru diposisikan lebih sebagai pegawai, bukan untuk mengilhami sikap hidup warga merdeka dan mencerdaskan warga belajar. Mutu berbasis standard menjadi mantra, menelantarkan relevansi yang justru penting bagi pendidikan yang bermakna sebagai proses untuk memerdekakan jiwa.

   Banyak Ormas seperti Muhammadiyah telah mengembangkan persekolahan dengan kurikulum tersendiri. Namun regulasi kapitalistik liberal yang dikembangkan sejak Orba hingga hari ini telah memaksa banyak lembaga pendidikan yang dikelola ormas untuk mengikuti pola persekolahan. Bahkan pesantren, melalui UU No.18/2019 akan disekolahkan sehingga pesantren bakal kehilangan kemandiriannya. Melalui regulasi lainnya, sekolah dan juga pesantren swasta cenderung semakin elitis dengan biaya yang makin tinggi. Bahkan sekolah dan pesantren ini semakin dilihat sebagai investasi dengan rate of return yang tinggi dan kemudian berkembang menjadi instrumen segregasi ummat Islam sendiri.

   Untuk menjadi bangsa besar, Republik ini harus segera mengakhiri monopoli persekolahan dalam Sistem Pendidikan Nasional. Persekolahan dan kampus harus direposisi sebagai pelengkap dalam proses pendidikan, tidak boleh menggantikan peran keluarga dan masyarakat. Tugas utama pendidikan harus dikembalikan pada keluarga dan masyarakat (masjid bagi ummat Islam). Pendidikan harus mampu melahirkan generasi muda yang mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif pada usia 16-18 tahun, bukan sekedar tenaga kerja trampil.

   Sementara itu kampus tidak boleh diposisikan sebagai kelanjutan dari pendidikan formal sebelumnya. Banyak kampus saat ini dibangun untuk menutup-nutupi kegagalan persekolahan 12 tahun menghasilkan warga yang mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif. Seharusnya hanya warga yang memiliki bakat akademik yang perlu kuliah di perguruan tinggi. Sebagian besar sisanya harus sudah mampu menjadi warga negara yang efektif. Kampus tidak perlu dibebani oleh mahasiswa yg tidak mandiri, sehingga bisa fokus pada kegiatan knowledge creation and innovation.

Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar, Surabaya
8/8/2020

Posting Komentar

0 Komentar