SOSOK PEMIMPIN DI ERA KRISIS
Oleh : Warsono
(Ketua HIPIIS Wilayah Jawa Timur)
Pemimpin merupakan kebutuhan dari suatu organisasi atau masyarakat. Kehadiran seorang pemimpin dalam suatu organisasi atau masyarakat dibutuhkan dalam rangka membawa kemajuan dan kesejahteraan bersama. Meskipun demikian seorang pemimpin tidak akan bisa memenuhi harapan tersebut secara sendirian, karena bagaimanapun kuatnya seorang pemimpin pasti memiliki keterbatasan dan kekurangan. Oleh karena itu, pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengornisir modal dan kekuatan yang ada untuk mencapai tujuan bersama.
Jika dahulu, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan secara fisik, karena seorang pemimpin sekaligus adalah panglima perang. Namun sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, yang lebih dibutuh dari seorang pemimpin bukan kekuatan fisik, tetapi kekuatan intelektual dan moral. Seorang pemimpin harus memiliki visi jauh ke depan yang memberi gambaran tentang kondisi yang dinginkan secara bersama. Selain visi, seorang pemimpin juga harus memiliki kemampuan analisis terhadap situasi dan kondisi yang selalu berubah, yang kadang tidak normal. Kemampuan analisis tersebut dibutuhkan untuk menyusun strategi dalam mencapai visi dan mewujudkan misi yang telah dicanangkan.
Dalam kondisi krisis seperti saat ini (era covid-19) kemampuan seorang pemimpin sedang diuji. Kemampuan mengatasi krisis menjadi tolok ukur kepemimpinan seseorang. Dalam kondisi krisis seorang pemimpin bukan hanya diuji intelektualitasnya, tetapi juga keberaniannya untuk tampil di depan sebagai teladan. Di saat krisis, seorang pemimpin harus berani membuang ego sektoralnya berupa kepentingan pribadi atau kelompok dengan menempatkan kepetingan umum (masyarakat, bangsa, dan negara) sebagai prioritas utama.
Keteladanan tersebut akan muncul jika seorang pemimpin memiliki kepekaan terhadap krisis (sense of crisis) dan kekuatan moral dan integritas yang kuat. Seorang pemimpin harus bisa merasakan apa yang dirasakan oleh rakyatnya, terutama masyarakat yang ada di lapisan bawah atau kelompok-kelompok yang termarjinalkan. Kebijakan yang diambilpun harus memperhatikan kelompok kelas bawah yang jumlahnya juga lebih besar daripada kelompok atas.
Dalam sistem demokrasi, seorang pemimpin (presiden, kepala daerah) dipilih oleh rakyat, dengan harapan mampu mewujudkan kesejahteraan bersama. Seorang pemimpin tidak harus takut akan kehilangan jabatan, tetapi harus lebih takut kehilangan kepercayaan dari masyarakat yang dipimpin. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan yang diambil harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat secara umum, bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu.
Sayangnya dalam menghadapi krisis yang disebabkan oleh pandemic Covid-19, figure pemimpin seperti yang diharapkan sangat langka. Para pemimpin justru terjebak pada konflik yang disebabkan oleh ego sektoral. Mereka sibuk mencari panggung untuk membangun citra diri. Kepekaan terhadap kondisi yang sedang krisis juga sangat minim. Hal ini yang menyebabkan Presiden Joko Widodo menyatakan kejengkelannya dihadapan sidang kabinet.
Keberanian untuk mengambil resiko demi kepentingan masyarakat juga tidak muncul. Masing-masing saling menunggu intruksi atau petunjuk, entah dari siapa. Seakan ada ketakutan untuk melangkah dan mengambil kebijakan demi kepentingan masyarakat. Ketiadaan integritas menyebabkan mereka tidak berani mengambil terobosan untuk mengatasi krisis. Akibatnya semua berjalan seperti biasa, padahal dalam kondisi krisis dibutuhkan keberanian untuk mengambil kebijakan yang extra ordinary.
Memang gaya kepemimpinan seseorang berbeda-beda. Dalam kondisi tidak normal (krisis) diperlukan gaya kepemimpinan yang berbeda dengan pada saat kondisi normal. Meskipun gaya kepemimpinan tidak bisa berubah dengan cepat (bakhan cenderung bersifat permanen), seorang pemimpin harus bisa cepat beradaptasi dengan kondisi. Kekuatan intelektual dan integritas menjadi modal untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang sedang krisis, seperti yang dilakukan oleh Winston Churchil perdana menteri Inggris pada masa perang dunia ke-II. Kecepatan dan ketepatan pengambilan keputusan sangat diharapkan dalam kondisi kritis.
Pandemik Covid-19 menjadi pelajaran dalam proses demokrasi kita. Pemilihan seorang pemimpin tidak cukup hanya didasarkan kepada popularitas, atau hanya karena kesamaan ideologi, maupun kultural, apalagi kalau hanya didasarkan kepada politik uang. Rakyat harus dididik menjadi pemilih yang cerdas, sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan intelektual dan moral, yang mampu mengatasi berbagai kondisi termasuk krisis seperti yang terjadi saat ini.
Ini berarti pendidikan politik harus terus dilakukan sehingga menuju demokrasi yang subtansial. Partai politik juga dituntut untuk menyiapakan calon-calon pemimpin yang memiliki kapasistas intelektual, integritas dan moral yang baik. Keberhasilan partai politik jangan hanya dinilai dari keberhasilannya memenangkan pemilu atau pilkada, tetapi juga harus dilihat dari keberhasilannya menyiapkan kader-kader pemimpin.
Proses demokrasi bukan hanya sekedar sebagai ajang perebutan kekuasaan, tetapi harus menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Sudah saatnya ego sektoral ditanggalkan dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Semoga Pilkada yang akan berlangsung pada tahun 2020 ini bisa menghasilkan pemimpin-pemimpin yang cerdas dan berintegritas yang bisa mewujudkan kesejahteran dan keadilan masyarakat.
Surabaya, 6 Agustus 2020
Disarikan dari diskusi HIPIIS Jatim putaran ke-3
0 Komentar