APENSO INDONESIA

header ads

KISAH SANG PEMBELAJAR


KISAH SANG PEMBELAJAR


Oleh : Warsono
Guru Besar & Mantan Rektor UNESA
(Universitas Negeri Surabaya)



   Ada empat pemuda berasal dari Trenggalek merantau ke Surabaya dengan maksud mencari kerja. Mereka hanya berpendidikan sampai tamat SMP. Orang tuanya tidak bisa membeayai untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Terpaksa mereka harus menerima keadaan, tanpa harus menyalahkan orang tuanya.

   Namun mereka mempunyai semangat untuk menyongsong hidup yang lebih baik. Mereka merantau ke Surabaya, dengan satu tujuan mencari kerja. Di daerahnya mencari pekerjaan juga tidak mudah, meskipun hanya sebagai kuli bangunan. Kalau toh ada proyek bangunan, tenaganya sudah diisi oleh mereka yang sudah berpengalaman. 

   Di Surabaya, sebagai kota besar banyak proyek pembangunan baik gedung, perumahan, jalan atau proyek lain yang banyak membutuhkan tenaga kerja kasar. Sehingga keempat pemuda tadi tidak mengalami kesulitan untuk bekerja sebagai kuli bangunan, karena memang banyak dibutuhkan, apalagi mereka tidak menuntut gaji. Mereka menerima upah sesuai dengan yang ditetapkan oleh sang Mandor. 

   Meskipun mereka sama-sama sebagai kuli bangunan, namun pengalaman batin dan cara memandang sesuatu berbeda. Sebagai kuli bangunan mereka hampir tidak lepas dari kemarahan Sang tukang. Kadang Sang tukang memarahi para kuli bangunan dengan berbagai alasan. Si tukang selalu minta dilayani oleh kulinya. Memang pekerjaan kuli adalah melayani tukang, sehingga dalam bahasa Jawa disebut dengan “Ladhen Tukang”. 

   Pengalaman tersebut dimaknai secara berbeda oleh keempat pemuda tersebut. Ada yang cuek, “emang gua pikirin, mau ngomel yang silahkan”. Ada juga yang bersikap reaktif dengan menyampaikan alasan setiap dimarahi. Tetapi ada juga yang berpikir dan merenung, “Kok Enak yaa jadi Tukang. Pekerjaannya ringan, sudah dilayani, upahnya lebih tinggi lagi”. Seperti yang dikatakan oleh Arnold Toybee, bahwa respon seseorang terhadap suatu tantangan (stumulus) akan membentuk suatu budaya. Perbedaan respon keempat pemuda tersebut atas pengalaman yang sama itulah yang pada gilirannya menimbulkan perbedaan status sosial diantara mereka.

   Bagi yang mereka yang merasa ada ketidakadilan, terus berpikir, bagaimana menjadi tukang, agar tidak dimarahi dan upahnya lebih tinggi. Mereka terus belajar menjadi tukang, dengan memanfaatkan kesempatan setelah jam kerja (sore hari). Mereka bertanya kepada Sang tukang, bagaimana menjadi tukang. Mereka juga terus mulai praktek dan meminta diajari oleh Sang tukang. Akhirnya mereka bertiga bisa menjadi tukang, meskipun masih harus terus belajar untuk meningkatkan kemampuannya.

   Pada suatu saat ada pengalaman baru, ketika mereka sedang bekerja di suatu proyek. Pada hari pertama ditunggui oleh Mandor. Hampir seharian Si mandor hanya tidur di tempat kerja itu. Sejak dia datang pagi memberi sedikit perintah, lalu tidur. Baru setelah sore ketika jam kerja sudah selesai, Si mandor pulang. Hari berikutnya Si mandor tidak hadir di tempat kerja. Hari berikutnya lagi Si mandor juga tidak kelihatan hadir. Dalam kondisi tidak diawasi oleh mandor, mereka bekerja agak santai dan banyak istirahat. Pada hari kelima Si mandor hadir dan kemudian marah-marah. Semua dimarahi dan dikatakan : “kamu tidur saja tidak bekerja”. 

   Kemarahan Si mandor tersebut membuat mereka terperanjat, terutama tiga orang yang jadi tukang. Salah satu diantara mereka bereaksi melawan Si mandor dengan kata-kata : “Bagaimana kamu bisa mengatakan kami tidur, padahal kamu tidak datang kesini?. Ketika hari pertama kamu hadir, kamu malah yang tidur”, katanya dengan kethus.

   Mendengar jawaban tukang seperti itu, Si mandor semakin marah. Si mandor berkata : “Yaa saya memang hari pertama tidur, dan hari berikutnya tidak hadir ke sini. Tetapi ketika saya datang itu saya mengukur kinerja kamu. Dalam satu hari bisa mengerjakan tembok berapa meter. Waktu itu saya ukur, satu hari kamu bisa mengerjakan 5 M2. Lha, jika kamu satu hari bisa mengerjakan tembok 5 M2, sekarang sudah empat hari, berarti sudah mencapai 20 M2. Tetapi sekarang kamu ukur hanya 12 M2. Berarti, ketika tidak saya tunggui kamu tidak bekerja”, dengan nada tinggi.   

   Mendengar apa yang disampaikan Si mandor, semuanya diam dan ketakutan kalau dipecat. Pengalaman tersebut direspon dengan cara yang berbeda oleh ketiganya. Ada yang yang diam saja, sambil menyadari bahwa dia memang banyak santainya ketika tidak ditunggui. Tetapi bagi yang lain, pengalaman itu memberi rangsangan untuk berpikir. 

   Diantara mereka bertiga ada yang berpikir. Oh begitu cara kerja mandor, mereka tidak harus menunggui terus-menerus, tetapi bisa mengontrol pekerjaan tukang. Lalu muncul keinginan untuk belajar menjadi mandor. Dengan ketekunannya, dia bisa diangkat menjadi mandor. Meskipun sudah menjadi mandor, ia juga masih terus bertanya, bagaimana caranya menjadi pemborong. Karena ia juga melihat bahwa pemborongnya juga bukan orang yang bermodal besar. Ia hanya memborong satu rumah atau dua rumah, setelah selesai mencari borongan lagi. 

   Pengalaman tersebut mendorongnya untuk belajar menjadi pemborong. Dia terus belajar dengan cara bertanya ke berbagai pihak. Dia juga belajar menghitung untuk 1 M2 tembok itu membutuhkan berapa batu bata, berapa sak semen, dan berapa pasir. Pikirannya terus bergejolak dengan banyak pertanyaan. Bagaimana cara menghitung besarnya dana untuk sebuah bangunan rumah. 

   Delapan belas tahun telah berjalan. Dari empat pemuda yang sama-sama dari desa dan berpendidikan SMP, sekarang sudah memiliki status yang berbeda. Ada yang tetap menjadi kuli bangunan, ada yang menjadi tukang, ada yang menjadi mandor, dan ada yang menjadi pemborong. Ikatan solidaritas berdasarkan kesamaan daerah, berangkat dari nasib yang sama, membuat mereka berempat masih tetap bersahabat dan bekerja bersama. Mereka saling memahami posisinya dan saling menolong. Mereka berempat seperti saudara dan saling menghormati, meskipun statusnya sudah berbeda    

   Dari kisah di atas, memberikan inspirasi bahwa belajar merupakan hak setiap orang. Belajar juga bisa terjadi dimana saja, tidak harus di sekolah. Selama orang mau belajar maka ia akan memperoleh ilmu. Karena ilmu bukan hanya miliki mereka yang belajar di sekolah atau yang kuliah di perguruan tinggi, tetapi miliki semua orang yang mau mencari.

   Sekolah bukan satu-satunya tempat untuk memperoleh ilmu, tetapi merupakan tempat untuk memaksa orang belajar. Sehingga Ivan Illich, mengatakan bahwa sekolah bagaikan penjara untuk memaksa orang belajar. Bagi sebagian orang belajar memang berat, sehingga harus dipaksa, Namun bagi sebagian yang lain, belajar merupakan kebutuhan. Sehingga mereka terus belajar untuk memperoleh dan menambah ilmunya, meskipun tidak sekolah.

   Dalam kenyataannya, tidak semua anak memiliki kesempatan untuk sekolah sampai ke jenjang Sekolah Menengah Atas, apalagi sampai ke perguruan tinggi. Keterbatasan ekonomi orang tua menyebabkan mereka harus putus sekolah di SD atau SMP. Namun jika mereka memiliki semangat untuk terus belajar, juga bisa memiliki pengetahuan yang tidak kalah dengan mereka yang belajar di sekolah. Bahkan mereka juga bisa mencapai kesuksesan seperti mereka yang belajar di perguruan tinggi. 

   Jika ingin memiliki ilmu jadilah pembelajar, karena ilmu milik siapa saja yang mau mencari. Teruslah belajar dan tekuni setiap ilmu yang sudah dimiliki, karena tidak ada ilmu yang tidak berguna. Semoga semakin banyak orang yang menjadi pembelajar. 

Surabaya, 20 September 2020
Belajar menjadi pembelajar









Posting Komentar

0 Komentar