APENSO INDONESIA

header ads

MERDEKA BELAJAR, BERPIKIR, DAN BERPENDAPAT

MERDEKA BELAJAR, BERPIKIR, DAN BERPENDAPAT


Oleh : Warsono
Guru Besar & Mantan Rektor UNESA
(Universitas Negeri Surabaya)



   Merdeka belajar merupakan program andalan Mendikbud Nadhim Makarim. Apa alasannya dan maksud dari kebijakan tersebut perlu dikaji dan dipahami secara seksama. Menurut Mendikbud merdeka belajar dimaknai dengan kebebasan berpikir. Sebagaimana yang diungkapkan dalam suatu wawancara dengan majalah tempo bahwa merdeka belajar adalah merdeka berpikir (tempo.com, 13 Desmber 2019).

   Jika merdeka belajar dimaknai dengan merdeka berpikir atau kebebasan berpikir, apa yang akan dicapai dengan kebebasan berpikir tersebut. Apa hubungannya kebebasan berpikir dengan kemajuan suatu bangsa. Atau kebebasan berpikir ini ada kaitannya dengan rendahnya skor PISA dari pelajar Indonesia?

   Dalam sejarah peradaban manusia kebebasan berpikir memang mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan peradaban. Kebebasan berpikir pada mulanya dimiliki oleh bangsa Yunani Kuno. Dengan kebebasan berpikir tersebut Yunani melahirkan filsuf - filsuf besar dengan pemikiran yang sampai sekarang masih menjadi rujukan.

   Hampir semua ilmu jika dilacak sejarahnya berhulu pada Zaman Yunani Kuno, sekitar abad ke 5 SM. Bahkan hampir semua ilmu menyebut nama-nama filsuf seperti Socrates, Epicurus, Plato, dan Aritoteles. Para filsuf tersebut melahirkan banyak ilmu melalui proses berpikir secara filosophis, yang ditandai dengan bertanya secara mendalam, mendasar dan menyeluruh.  

   Berpikir adalah suatu proses untuk menjawab suatu pertanyaan, meskipun pertanyaan itu dari dirinya sendiri. Oleh karena itu, berpikir dimulai dengan bertanya. Dengan bertanya seorang filsuf terus berusaha menjawab atas pertanyaan yang dibuatnya sehingga menghasilkan pengetahuan atau ilmu. Inilah yang kemudian dikatakan bahwa filsafat merupakan induk dari segala ilmu. Karena dengan adanya pertanyaan maka akan melahirkan pengetahuan atau ilmu.

   Memang pertanyaan yang diajukan oleh para filsuf bersifat hakiki dan spektakuler, seperti apa hakikat kebenaran, kebaikan, keadilan, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab seketika karena membutuhkan pemikiran yang mendalam. Bahkan setiap orang jawabannya bisa berbeda - beda. Namun mereka juga menanyakan tentang alam semesta ini seperti apa asal - usul alam (arche). Jawaban dari para filsuf pada waktu itu juga berbeda-beda.

   Kebebasan yang dimiliki oleh orang - orang Yunani dalam berpikir (mempertanyakan) segala sesuatu itulah yang melahirkan berbagai ilmu. Kebebasan berpikir seperti pada zaman Yunani itulah yang kemudian dituntut oleh masyarakat Eropa pada Abad Tengah ketika mereka mengalami kungkungan dari dogma agama. Melalui gerakan Renaisancenya dan Aufklarung (berani berpikir) di Jerman mereka mendobrak dominasi gereja dan melepaskan diri dari dogma agama.

   Kebebasan berpikir di Eropa kemudian melahirkan banyak temuan dalam bidang ilmu dan teknologi. Seperti James Watt yang menemukan mesin uap. Michael Farady yang menemukan listrik, dan banyak temuan lainnya. Temuan-temuan tersebut kemudian melahirkan revolusi industri yang sekarang sudah sampai pada 4.0. Bahkan Revolusi Industri tersebut kemudian melahirkan kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Eropa ke seluruh dunia.

   Tampaknya kebebasan berpikir seperti yang terjadi pada zaman Yunani maupun di Eropa setelah Renaisance yang dikehendaki oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Dengan kemerdekaan berpikir diharapkan mampu mendorong siswa dan mahasiswa berpikir secara kritis, kreatif, dan inovatif, sehingga melahirkan temuan - temuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi. Namun untuk mewujudkan program tersebut bukan suatu yang mudah, karena belum semua guru dan dosen memahami dan melakukan. 

   Selama ini pendidikan di Indonesia cenderung membungkam kebebasan berpikir. Siswa takut bertanya, karena bertanya dianggap bodoh. Akibatnya, siswa malas bertanya karena takut dianggap bodoh. Di sisi lain, tradisi berdiskusi di sekolah juga tidak berkembang dengan baik, karena penilaian yang dilakukan sekolah lebih banyak didasarkan pada pengetahuan benar salah, bukan kepada kreatifitas dan kemampuan siswa membangun argumentasi. 

   Dalam proses belajar mengajar sebagian guru hanya mentransfer pengetahuan, bukan merangsang perkembangan kreatifitas siswa. Guru lebih banyak menjelaskan konsep atau teori daripada mempertanyakan bagaimana dan mengapa. Kemampuan bertanya secara kritis dari para guru juga perlu diasah, agar mampu melahirkan ide atau gagasan siswa, seperti yang dilakukan oleh Plato. 

   Plato dalam mengajar murid-muridnya menggunakan metode kebidanan, yaitu membantu muridnya melahirkan ide atau gagasan dengan terus bertanya. Setiap kali muridnya menjawab pertanyaan, Plato terus mengajukan pertanyaan baru terhadap jawaban yang diberikan muridnya. Dengan cara seperti itu, Plato mendorong murid-muridnya terus berpikir melahirkan ide atau gagasannya. 

   Bertanya memang tidak mudah, karena tidak semua orang bisa membuat pertanyaan yang jelas. Seringkali pertanyaan yang kita ajukan tidak jelas apa yang akan ditanyakan, apakah tentang pemahaman suatu konsep, pengetahuan prosedural atau penjelasan sebab akibat. Ketika pertanyaannya tidak jelas, maka jawaban yang akan diberikan juga tidak jelas. Kejelasan suatu pertanyaan jauh lebih penting daripada jawaban, sebab jawaban akan mengikuti atau sesuai dengan pertanyaannya.
    
   Jawaban atas pertanyaan yang bersifat pemahaman suatu konsep tentu akan berbeda dengan pertanyaan yang procedural, dan pertanyaan yang menjelaskan sebab akibat. Pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman (what) bisa dinilai benar atau salah. Jawaban atas pertanyaan procedural (how) bisa dinilai dari akurat atau tidaknya. Dan jawaban atas pertanyaan sebab akibat (why) dinilai dari argumentasi yang dibangun. 

   Kebebasan berpikir, tidak sama dengan kebebasan berpendapat. Pendapat yang untuk menjawab suatu pertanyaan merupakan tradisi berpikir secara ilmiah. Tentu pendapat tersebut berkaitan dengan pendeskripsian suatu realita, atau pengetahuan procedural atau penjelasan tentang hubungan sebab akibat. Kebebasan dalam berpikir akan menghasilkan jawaban - jawaban yang terbuka untuk diuji kebenarannya, yang berbasis kepada logika dan fakta. Sedangkan kebebasan berpendapat sering kali dimaknai dengan kebebasan menyampaikan opini (pernyataan) yang bersifat subyektif.  
Kebebasan berpendapat memang merupakan hak azasi yang terus diperjuangkan setiap orang. Namun kebebasan berpendapat seringkali bisa menjadi sumber konflik sosial, karena masing - masing menganggap pendapatnya yang paling benar dan menyalahkan yang lain. 

   Opini juga sangat tergantung pada pengalaman, tingkat pengetahuan dan analisis seseorang. Bahkan seringkali opini tidak didasarkan kepada pemahaman tentang suatu konsep tetapi sangat tergantung dari pemahamannya sendiri. Opini yang baik tentu yang didasarkan kepada pemahaman atas suatu konsep, dan ketajaman analisis. Meskipun demikian, adanya perbedaan opini tidak bisa dihindari karena sudut pandang atau perpekptif teori yang digunakan. 

   Program merdeka belajar ini diharapkan menjadi wahana untuk merdeka berpikir yang pada gilirannya menghasilkan berbagai temuan. Dengan kebiasaan berpikir secara ilmiah diharapkan juga menghasilkan pendapat - pendapat yang obyektif. Jika tradisi merdeka berpikir ini sudah terbangun, akan tercipta masyarakat yang berbasis pengetahuan (knowledge based society), sehingga konflik sosial juga bisa dikurangi. 

   Semoga tradisi untuk berpikir (bertanya) menjadi bagian yang harus dilakukan sebelum kita berpendapat. Bukan sebaliknya kita rajin berpendapat, tetapi malas bertanya (berpikir). 

Surabaya, 13 September 2020
Belajar merenung










Posting Komentar

0 Komentar