APENSO INDONESIA

header ads

GURU BANYAK CARA

 

GURU BANYAK CARA

Oleh : Gempur Santoso


Temanku ahli sejarah, pernah bercerita. Zaman dulu. Saat rakyat pribumi teman kita dijajah Belanda. Pribumi bersekolah dibatasi. Hanya boleh sampai kelas tiga sejenis sekolah dasar (SD).

Pribumi, mendirikan lembaga pendidikan formal pun tidak diizinkan pemerintah penjajah. Belanda. Pasti dibubarkan oleh Belanda.

Saat itu, rakyat Indonesia relatif "bodoh". Dibodohi. Itu, bertujuan agar penjajah mudah mengendalikan rakyat. Rakyat tetap bodoh dibodohi. Tampaknya penjajah takut bila rakyat Indonesia menjadi cerdas, pandai.

Rakyat kurang pengetahuan. Kurang infomasi. Kurang tahu dunia luar. Kurang mengalami/terbentuk persatuan Indonesia.

Darurat, zaman penjajah. Sebagian besar rakyat Indonesia belajar di pondok pesantren. Rakyat butuh bisa pandai. Diajari oleh para Kyai, bagi yang mondok.

Pondok pesantren menjadi tempat pendidikan rakyat - non formal. Didirikan tanpa ijin pemerintah Belanda. Non formal tidak perlu izin. Menggunakan bahasa Arab. Bahasa Al Qur'an. Penjajah tak mengerti bahasa Arab. Penjajah tak mengerti, kalau di Pondok Pesantren sebagai tempat pendidikan rakyat Indonesia.

Belajar di Pondok Pesantren tak mendapatan kertas ijazah. Itu tidak dibutuhkan. Tetapi, belajar ilmu. Belajar segala hal wilayah Indonesia. Belajar sebagai bangsa Indonesia. Belajar yang menimbulkan rasa persatuan Indonesia.

Dengan begitu, rakyat Indonesia menjadi pandai. Cerdas. Punya ilmu. Berwawasan luas. Tahu Indonesia.

Hal itu sebagai kontribusi timbul "kebangkitan bangsa" tahun 1908. Juga "sumpah pemuda" tahun 1928. Sampai kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Saat ini. Terasa terulang. Darurat. Karena pandemi coronavirus. Pendidikan formal tetap ada, tetapi guru dan murid tak bertemu. Daring. 

Gedung - gedung sekolah. Atau gedung kampus. Gedung - gedung tempat pendidikan, banyak kosong dari murid. Hampir tatap muka belajar mengajar tak terjadi. Hanya lewat kaca handphone atau laptop. Daring (dalam jejaring) atau on line lainnya.

Bisakah pendidikan utuh lewat daring? Tentu diperkirakan tak terjadi pendidikan utuh afekif, kognetif, psikomotorik. Atau, tak tercipta pendidikan cipto, roso, karso. Tak tercipta pendidikan hidup, qolbu dan nalar. Tak tercipta pendidikan utuh karakter manusia. Saat daring hanyalah pengetahuan atau kognitif semata. Itupun ada tidak seutuhnya.

Guru dan murid hampir tak bertemu. Hanya daring. Apakah generasi daring ini akan membuat utuh cerdas?

Tampaknya para guru atau dosen punya cara tersendiri. Agar para murid atau mahasiswanya menjadi utuh cerdas. Cerdas berfikir, cerdas qolbu (hati/rasa), dan cerdas gerak bersikap.

Badai pandemi cepat berlalu pasti berlalu...semoga...cepat lepas darurat.

Semoga generasi tatap selamat kecerdasannya, sumua sehat selalu...aamiin yra.

(GeSa)




Posting Komentar

0 Komentar