APENSO INDONESIA

header ads

BELAJAR, BUKAN BERSEKOLAH

BELAJAR, BUKAN BERSEKOLAH


Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar ITS Surabaya


Sudah hampir setahun pandemi ini mengubah hampir semuanya. Sekolah di kawasan urban di banyak bagian planet ini praktis tutup. Murid diminta Belajar Dari Rumah. Kampuspun demikian. Sejak Cambridge sampai Nusacendana di Kupang. Hampir semua pembelajaran terpaksa dilakukan secara online. Sebelumnya, mode belajar daring sudah mulai populer melalui berbagai aplikasi. 

Sementara akhir pandemi belum juga jelas, satu hal sekarang makin jelas : Gedung-gedung megah persekolahan itu makin tidak relevan jika dipaksakan untuk kembali menampung kegiatan bersekolah lagi. Sekolah harus direposisi. Juga guru. Yang penting saat ini adalah belajar (learning) sebagai kegiatan produktif, bukan bersekolah (schooling) sebagai kegiatan konsumtif. Hal ini penting ditegaskan karena beberapa sebab mendasar berikut. 

Pertama, memang conceptually, persekolahan sudah kuno, outdated. Sekolah telah diciptakan untuk masa dan era yang berbeda 200 tahun silam dalam rangka menyiapkan tenaga kerja trampil massal bagi sebuah masyarakat industri. Persekolahan dulu memang diciptakan sebagai sebuah instrumen teknokratik proses penjongosan massal. Yang diutamakan adalah ketrampilan sebagai pekerja untuk menjalankan mesin-mesin dengan patuh dan berdisiplin. Era itu kini sudah berlalu atau segera berlalu. 

Kedua, internet telah menyediakan sumber-sumber belajar daring dengan spektrum yang kaya. Banyak pilihan bagi warga belajar untuk belajar apapun, dimanapun dan dengan siapapun. Yang menjadi kunci adalah keluarga sebagai sekolah yang pertama dan utama. Keluarga yang sehat dan solid akan menjadi basis pembelajaran yang kokoh bagi warga muda, terutama soal akhlaq dan adab.  

Belajar sebagai sebuah emergent phenomena adalah sebuah rangkaian kegiatan yang sederhana, tidak pernah membutuhkan kerumitan birokratik persekolahan. Ada 4 kegiatan belajar pokok : 1) praktek atau mengalami, 2) berbicara dengan bebas (plus mendengarkan), 3) membaca, dan 4) menulis. Mungkin perlu ditambah satu lagi : 5) berhitung. Yang penting adalah warga belajar melakukannya secara kontekstual sehingga bermakna menjadi bagian dari tumbuh sebagai pribadi dewasa dengan penuh tanggungjawab. Yang diutamakan bukan mutu melalui penyeragaman massal, tapi relevansi bagi setiap warga belajar yang unik secara personal (bakat, minat, aspirasi, serta jenis kelamin), spasial (kawasan urban, agromaritim), dan temporal (kekinian dan kemutakhiran).

Kunci keberhasilan kita memanen bonus demografi tidak bisa disandarkan lagi pada sistem persekolahan yang makin birokratik, kaku dan tidak efisien. Itu harus disandarkan pada sebuah Jejaring Belajar Sibernetik yang lentur dan luwes yang melayani warga muda sebagai instrumen perluasan kemerdekaan. 

RIK3 RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, 5/12/2020

------------


Posting Komentar

0 Komentar