APENSO INDONESIA

header ads

KASIH AYAH SEPANJANG MASA TAK BISA TERGANTIKAN OLEH APAPUN

“KASIH AYAH SEPANJANG MASA TAK BISA TERGANTIKAN OLEH APAPUN“


Oleh : H. Banu Atmoko
Apenso Indonesia



Kisah cinta paling manis dalam hidup rupanya bukan cinta pertama. Cinta pertama boleh jadi sekadar cinta monyet. Seperti sifat seekor monyet, cinta ini tidak manis. Bahkan, cenderung pahit. Bagi sebagian, cinta ini boleh jadi terasa manis. Cinta yang paling manis adalah cinta yang tak bersyarat. Oleh karena itu, tidak ada kata syarat, jika kamu begitu, aku akan begini, jika kamu selingkuh, aku akan selingkuh. Ini bukan cinta yang manis. Ini adalah cinta yang bersyarat.

Cinta yang manis rupanya amat bermakna. Saking bermaknanya, seorang gadis belia nan cantik pun tidak sanggup memberikan cinta ini pada cowok manis nan sopan sang dambaannya. Cinta yang manis memang bukan cinta yang dialami oleh remaja-remaja yang sedang belajar mencintai. Cinta yang manis rupanya hanya mampu diberikan oleh orang tua pada anaknya. Cinta ini melebihi cinta yang diberikan oleh seorang cewek pada cowoknya. 

Orang tua mencintai anaknya secara total. Total berarti tanpa syarat. Cinta inilah dambaan setiap orang tua. Dan, seorang ayah atau seorang ibu betul-betul menjadi orang tua yang baik saat mereka mampu memberikan cinta yang manis ini pada anaknya. Jika belum, tanda tanya akan kadar cinta mereka pun patut diajukan. 

Pertanyaan tentang kadar cinta ini memang mesti diajukan setiap saat. Pertanyaan ini ibaratnya makanan dan minuman yang kita nikmati setiap hari. Tanpa pertanyaan ini, cinta itu tidak akan ada. Cinta itu hanya akan nyata dalam hidup jika terus menerus dibuntuti dengan pertanyaan seperti ini. Jangan berpikir bahwa cinta yang manis ini dimiliki oleh setiap orang tua. 

Masih ada orang tua yang tidak mampu memberikan cinta ini pada anaknya. Bahkan, iming-iming memberi cinta, seorang ayah kadang-kadang bisa memberi maut pada anaknya. Boleh jadi pikiran kita tidak terbiasa dengan pola pemahaman seperti ini. Bagaimana mungkin seorang ayah membawa anaknya pada maut? 

Akal kita terbiasa untuk berpikir hanya cinta sajalah yang diberikan sang ayah pada anaknya. Namun, kita mesti tengok pada kejadian nyata. Ada juga ayah yang memberi maut pada anaknya. Sang bapak, Josè, adalah seorang pelari Maraton. Sebagai pelari, ia kerap mengikuti lomba. Dalam perlombaan, ia kadang-kadang meninggalkan keluarganya, anak-anak dan istri. 

Hobinya ini memang membuat waktu untuk keluarga kadang-kadang berkurang. Baginya, menjadi pelari adalah sebuah hobi. Saking hobinya, kerap kali ia juga tetap berlari di luar perlombaan. Itulah sebabnya, setiap hari—bagi Josè—adalah kesempatan untuk berlari. Tak pandang waktu, entah ada perlombaan atau tidak.

Hobi Josè ini rupanya membuat ia sejenak memikirkan keluarganya. Ia tentu terus mengembangkan bakatnya untuk berlari. Dan, beruntung dia juga sempat mengingat sang buah hatinya Pablo roas. Pablo adalah sang anak yang difabel. Pablo sama sekali bergantung pada orang tua dan saudara/i-nya. Pablo tidak bisa bicara dan berjalan. Ia hanya mampu melihat keadaan sekitarnya dari kursi roda. 

Dia juga mendengar orang berbicara selalu di atas kursi roda. Kursi ini baginya pun menjadi rumah idamannya. Ia tak bisa terlepas dari kursi ini. Dan, untuk bisa berpindah tempat, ia kerap bergantung pada orang tuanya yang bisa mendorong kursi itu. Di atas kursi roda itu juga, dia menerima kejadian luar biasa dalam hidupnya. Melalui kejadian ini, Pablo dibawa pada kisah cinta yang manis bersama sang ayah Josè.

Josè bercerita demikian: “Saya tidak ingat persis waktunya tetapi saat itu sedang musim panas. Waktu saya siap-siap berlari keluar rumah, Pablo tidak mau tinggal bersama sang Ibu dan saudara-saudaranya. Saya akhirnya berinisiatif untuk membawa Pablo berlari-lari di luar rumah. Pablo duduk dalam posisi lurus di atas kursi roda. Ini tanda bahwa Pablo mau ikut. Biasanya, dia tidak mau duduk dalam posisi ini. Kami pun keluar bersama-sama. Saya mendorong kursi roda Pablo sambil berlari-lari. Ini adalah kisah pertama dari petualangan kami.” Dari kisah pertama ini, mereka pun sering keluar bersama. 

Pablo merasa senang karena bisa berjalan bersama sang ayah. Bukan hanya itu. Kejadian ini rupanya mengantar mereka pada perlombaan lari Maraton di beberapa kota. Terhitung sekitar 6 lomba lari nasional dan internasional mereka ikuti : 2 di Madrid, 3 di Sevilla, dan 1 di New York, AS. Cinta yang manis inilah yang mendorong Josè untuk selalu bersama anaknya. Hobinya berlari pun membawa dia amat dekat dengan sang anak difabel ini. 

Josè tak segan mendorong kursi roda sang anak sepanjang 42 kilometer. Dalam setiap perlombaan, Josè dan Pablo mengenakan baju dengan warna dan nomor yang sama. Mereka berlari seperti pelari profesional lainnya. Hanya saja, Pablo di atas kursi roda dan Josè berlari sambil mendorong kursi sang anak. Josè merasa bersyukur bisa dekat dengan anaknya. Dia yang tampaknya jauh dari keluarga—karena hobi berlari—rupanya bisa merasakan kedekatan dengan keluarga termasuk dengan sang anak Pablo. 

Bukan hanya itu, Josè juga mampu membuat anaknya tertawa kegirangan dalam perlombaan lari setiap kali penonton memberi tepuk tangan pada mereka. Dengan ini, Josè pun merasa senang dengan kehadiran anak difabelnya. Kata Josè dalam sebuah wawancara, “Sejak dia lahir, setiap hari seperti hari yang luar biasa bagi saya. Memang, hidup kita kadang berat dan berat sekali tetapi kita mesti menghadapinya dengan harapan dan tersenyum sebab dengan kehadiran Pablo saya sungguh sadar bahwa betapa berharganya hidup kita.”

Hidup bagi Josè adalah tinggal bersama sang anak. Dia tidak bisa berpisah dengan sang anak dalam kesehariannya.“Sekarang, berlari tanpa Pablo akan terasa hambar dan tak berarti seperti menikmati kopi tanpa rasa pahit. Pablo adalah anak yang luar biasa bagi saya, yang selalu memberi kekuatan untuk melakukan sesuatu dengan baik.” 

Luar biasa kisah Pablo dan Josè. Mereka merasakan kisah cinta yang manis dalam keseharian mereka. Andai Ahmad Sulaimi bisa meniru kisah Josè, boleh jadi Muhammad Albani di Mataram sana akan mengangkat tangan dan berteriak kegirangan merayakan kemenangan dalam lomba lari. Muhammad kini telah tiada, tinggal Ahmad sendiri bersama istri dan dua anaknya. Semoga Ahmad bisa memberi cinta yang manis dan berlipat ganda untuk istri dan kedua anaknya.

Pada hari Rabu, 23/12/2020 Penulis yang juga Kepala SMP PGRI 6 Surabaya Sekolah Peduli Berbudaya Lingkungan yang terletak di Jalan Bulak Rukem III No. 7 – 9 Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan Semampir sore hari pukul 16.00 seperti biasa Penulis nongkrong di ANGGON KOPI milik bapak ABDUL AZIS PANIGORO, S.Psi. Dalam kesempatan ini, Penulis sangat kagum kepada bapak SYAHRUL, S.Pd Kepala SMP Kemala Bhayangkari 6 Surabaya yang juga Pelatih Pramuka dan Pelatih Panahan di SMP PGRI 6 Surabaya. 

Penulis Kagum kepada pria kelahiran November 1986 dan alumni jurusan Matematika UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA Surabaya, karena Istri beliau baru saja melahirkan, dimana beliau sekarang menjadi seorang Ayah dan Ibu untuk mengantarkan mengaji anaknya, seperti yang dilakukan sore hari ini mengantarkan mengaji di dearah Benteng Miring, serta menyuapi Putra beliau yang pertama yaitu FARIZ.

Di warung bapak ABDUL AZIS PANIGORO, S.Psi beliau pesan nasi sop iga di warung MAK NYAK dan disuapkan ke Putranya. Hebatnya bapak SYAHRUL, S.Pd menyuapi seperti seorang Ibu. Penulis bangga karena kasih Ibu sepanjang masa, kasih Ayah sepanjang zaman. Karena sesibuk apapun SYAHRUL, S.Pd masih mampu memberikan kasih sayang kepada Putranya sebagai pengganti Istri yang baru melahirkan.
#TantanganGuruSiana
#dispendikSurabaya
#Guruhebat





Posting Komentar

0 Komentar