Melawan Sekulerisasi
(Guru Besar ITS Surabaya)
Komentar seorang Jendral tua baru-baru ini bahwa penjajahan atas Palestina bukan urusan Republik ini adalah satu gejala penting sekulerisme yang mewujud dalam sebuah _glorified tribalism_ yang disebut nasionalisme. Cinta pada tanah air di mana kita dilahirkan adalah dorongan alami yang sangat kuat, padahal di bagian mana kita dilahirkan dan warna kulit kita bukan hasil keputusan kita atau bahkan orangtua kita.
Oleh karena itu Pembukaan UUD1945 mengamanahkan tugas menjaga seluruh bangsa dan tumpah darah sekaligus tugas menghapus penjajahan di muka bumi perlu diimbangi dengan tugas membangun ketertiban dunia dari ancaman _jangoism_ kaum zionis yang chauvinistik. Gejala yg sama sedang muncul dalam bentuk _white supremacist_ di AS juga di Eropa yang memperlakukan suku lain yang berwarna seolah binatang.
Bahkan jauh sebelum proklamasi, *Islam adalah anasir anti-penjajahan yang paling menjengkelkan bagi Belanda*. Diponegoro menunjukkan bahwa, melalui *pondok-pondok pesantren*, Islam mampu memberi inspirasi perlawanan yang sangat efektif sehingga membangkrutkan VoC. Islam pula yang memudahkan penerimaan berbagai suku di Nusantara ini untuk menerima sebuah gagasan baru : bangsa Indonesia. Islam telah menempatkan sukuisme di belakang kesadaran bangsa Indonesia yang bhinneka untuk tetap tunggal ika.
Perlu dicermati bahwa para jango penjajah hingga hari ini tidak pernah berhenti untuk menjarah dan memperbudak bangsa ini. *Instrumen penjajahan yang terpenting adalah program sekulerisasi* besar-besaran melalui sistem *persekolahan massal paksa*, terutama sejak Orde Baru. Persekolahan ini telah mengubah pendidikan sebagai upaya menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka, menjadi sekedar instrumen teknokratik untuk menyediakan tenaga kerja yang cukup trampil untuk menjalankan mesin-mesin pabrik sekaligus cukup dungu untuk bekerja terus bagi kepentingan investor asing. Upaya menyekolahkan pondok pesantren yang berjantung di masjid harus diwaspadai.
Dari perspektif Islam, korban terpenting dari proyek sekulerisasi terstruktur, sistemik dan masif melalui persekolahan massal paksa ini adalah keluarga dan masjid. Tugas tarbiyah keluarga yang oleh Islam diposisikan sebagai madrasah yang pertama dan utama dirampas oleh persekolahan massal paksa. Tugas produktif keluarga juga dirampas oleh pabrik- pabrik. *Sekulerisasi melalui persekolahan dengan demikian juga sekaligus proyek penjongosan*.
Sementara itu *masjid direduksi perannya menjadi sekedar rumah ibadah* sempit untuk persiapan minimalis bagi kehidupan setelah mati. Masjid tidak dilihat sebagai institusi dengan visi dan misi pelayanan, pencerdasan dan pemberdayaan ummat. Pada saat masjid mengalami degradasi institusional, ummat Islam beralih membangun organisasi massa dan partai politik untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi ummat. Selama sekolah masih menjadi institusi budaya utama bangsa ini, maka upaya ormas dan parpol Islam untuk memperjuangkan nilai-nilai dan kepentingan Islam akan sia-sia. Buktinya bisa kita lihat : Baik ormas Islam maupun parpol Islam hanya menjadi pemain figuran dan pelengkap penderita dalam lansekap ekonomi dan politik nasional selama 50 tahun terakhir ini.
Pada saat monopoli radikal persekolahan atas sistem pendidikan nasional berlangsung terus, berkembang pula monopoli radikal pasar politik oleh partai politik dan monopoli ekonomi oleh segelintir elite korporasi yang berkerumun di Jabodetabek. Monopoli selalu merugikan pembeli : biaya pendidikan, ongkos politik, dan ekonomi makin membubung tinggi. Korupsi marak, kemiskinan dan ketimpangan persisten, serta kesenjangan spasial lestari melebar.
Ummat Islam mesti segera menyadari bahwa upaya membela dan memerdekakan Palestina harus dimulai dengan memerdekakan diri sendiri. Itu bisa dimulai dengan menguatkan keluarga sebagai satuan edukatif dan satuan produktif. Lalu kita kuatkan masjid-masjid sebagai institusi, bukan sekedar _property_. Tidak mungkin kita melawan perang _proxy_ penjajah ini hanya dengan ormas dan parpol saja yang perannya sudah dijebak oleh regulasi liberal kapitalistik sejak reformasi. Ormas dan parpol bisa melengkapi dan memfasilitasi keluarga dan masjid sebagai basis perlawanan melawan sekulerisasi ini. Bukan melemahkannya. Baik sekolah, ormas dan parpol boleh tidak ada, tapi keluarga dan masjid harus tetap ada.
*Rosyid College of Arts*,
Gunung Anyar, Surabaya,
25/5/2021
0 Komentar