APENSO INDONESIA

header ads

Maladministrasi Publik

Maladministrasi Publik


Daniel Mohammad Rosyid
(Guru Besar ITS Surabaya)


Sejak reformasi sekelompok kaum sekuler radikal secara diam-diam telah meluncurkan agenda penghancuran Pancasila sebagai pondasi Republik ini, once and for all, yaitu dengan melakukan maladministrasi publik. Ini adalah sebuah proses penciptaan hukum, regulasi dan kebijakan, serta penafsirannya bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan elite atau oligarki. Dampak maladministrasi publik ini adalah kerusakan yang terstruktur, sistemik dan masiv dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Sementara agenda reformasi adalah pemberantasan korupsi, maladministrasi publik ini dilakukan dengan memanfaatkan mental koruptif yang masih menghinggapi banyak pejabat publik dan birokrasi. Hampir semua investasi publik dan pembelanjaan pemerintah gagal menghasilkan pelayanan publik yang value for money, tetapi hanya value for monkey saja. Bagaimana para koruptor telah fighting back terbukti puncaknya pada pemecatan staf senior KPK saat ini.

Maladminsitrasi publik terbesar adalah Pemilu yang dibungkus sebagai pesta demokrasi. Dalam praktek, pemilu adalah instrumen mahal net transfer hak-hak politik publik pemilih pada partai politik. Hak-hak politik publik hanya ada dan berakhir di bilik-bilik suara Pemilu. Hasilnya terbukti memang memilukan publik pemilih. Begitu pesta demokrasi itu selesai, pemilih menjadi floating mass, elite terpilih segera melupakannya.

Lihatlah rangkaian produk hukum karya DPR dan eksekutif sejak reformasi, terutama lima tahun terakhir ini. Publik pemilih justru semakin dijongoskan secara politik dan ekonomi pada saat investor asing makin leluasa menjarah sumberdaya alam kita sekaligus merusak ekosistemnya. Kerusakan ekosistem hutan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan NTT untuk kepentingan perkebunan sawit, food estate, serta penambangan mineral dan batubara semakin parah. UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah insentif besar bagi penjongosan publik dan perusakan lingkungan ini. 

Maladministrasi publik brutal lainnya dipertontonkan oleh Walikota Bogor, polisi, jaksa dan hakim atas Habib Rizieq Shihab. FPI praktis bubar. Enam anak muda pengawal HRS terbunuh secara sadis sementara kasus pelanggaran HAM berat ini diremehkan oleh Komnas HAM, dan direkayasa agar dilupakan dari ingatan publik. Hukum terang-terangan diterapkan secara power abusive tajam ke publik, tapi tumpul ke elite. 

Yang terakhir adalah pemecatan puluhan staf dan pegawai senior KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan. Ini mungkin terjadi setelah perubahan UU KPK yang terbukti telah melumpuhkan KPK. Sebelumnya seorang staf senior KPK yang terbukti melanggar etika KPK justru terpilih secara bulat oleh DPR untuk memimpin KPK. Sulit untuk menolak kesan bahwa bahwa KPK saat ini adalah Komisi Perlindungan Koruptor yang bekerja untuk kepentingan elite parpol yang terlibat kasus korupsi.

Reformasi ugal-ugalan telah menyebabkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila hanya slogan pemanis bibir elite dan oligarki, sekaligus instrumen pemukul bagi sekelompok warga bangsa yang kritis dan berbeda pandangan dengan elite penguasa. Praktek kehidupan kita semakin liberal kapitalistik. Wong cilik diperalat oleh elite partai politik melalui Pemilu untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan dukungan para taipan domestik maupun asing. 

Maladministrasi publik lainnya adalah mismanajemen Covid-19. Pandemisasinya oleh WHO telah ditunggangi oleh elite untuk mengeruk keuntungan di atas penderitaan publik. Ongkos ekonomi, sosial dan budaya serta politiknya semakin tidak terpikul pada saat ekonomi nyungsep, pengangguran meluas, masjid, sekolah dan kampus tutup dan kedaulatan Republik ini dirampas oleh kekuatan-kekuatan nekolimik global. Bonus demografi bakal menjadi bom demografi. 

Publik pemilik sah Republik ini, terutama ummat Islam, tidak bisa membiarkan maladministrasi publik ini berlangsung terus. This must stop immediately. 


Rosyid College of Arts 

Gunung Anyar, 17/6/2021

Posting Komentar

0 Komentar