Civitas Academica ?
Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Dua episode penting dalam karirku sebagai anggota sebuah civitas academica selama 33 tahun lebih menyangkut dinamika berpendapat. Bukan berpendapatan. Ini semua terkait dengan interaksiku dengan dunia jurnalistik. Sebuah dunia yang sudah lama kuakrabi. Pertama terjadi dua tahun lalu dalam wawancara dengan wartawan soal UU Ormas. Yang terakhir artikel opiniku terkait pandemi covid-19 dan ancamannya atas bonus demografi.
Minatku pada jurnalistik sejak mengelola mading Ekspresi di SMA1-2 Semarang makin menemukan bentuknya melalui Diklat Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia di Surabaya di awal 1980an. Wawasan kebangsaanku yang kritis dibentuk sejak itu oleh Burhan Magenda, Deliar Noer dan Imaduddin Abdurrachim. Ini untuk menyebut beberapa sosok saja. Juga HMI. Melalui koran mahasiswa Aspirasi aku menggeluti jurnalistik di ITS.
Satu liputan pentingnya adalah Peresmian Kampus ITS Sukolilo oleh Dirjen Dikti Doddy Tisna Amijaya saat ITS dipimpin Rektor Mahmud Zaki pada Nopember 1980 bertepatan Dies Natalis dan Wisuda ITS. Mantan Ketua Dewan Mahasiswa, Harun Al Rasyid, diwisuda. Orasi Ilmiah Dies Natalies oleh Eddy Yahya yang baru pulang dari studi doktor di Iowa.
Sepulang dari studi PhD 1991, aku mulai terlibat dengan Muhammadiyah. Anak-anakku belajar di SDM4 Pucang. Sebagai dosen peneliti mulai aktif meneliti di lingkungan Ristek maupun Dikti. Lalu juga aktif di Persatuan Insinyur Indonesia, KADINDA Jatim, dan juga ICMI Jawa Timur. Saat membantu Rektor Soegiono, aku banyak berinteraksi dengan wartawan maupun masyarakat. Setelah itu, selama 10 tahun di Dewan Pakar, kemudian Dewan Pendidikan Jatim memberi masukan kebijakan bagi Gubernur Imam Utomo.
Begitulah perjalanan 40 tahun di Surabaya ikut membentuk pandangan dan sikapku sebagai dosen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menulis di media menjadi rutinitas tambahan di luar kegiatan dosen. Tulisan itu berusaha memberi wacana alternatif. Termasuk kritik atas Ujian Nasional zaman SBY. Di zaman Jokowi, aku menentang UU Ormas yang berpotensi menghambat kebebasan sipil. Karena inilah aku dinilai sebagai pendukung HTI yg kini bubar. Juga UU Omnibus Law yang berpotensi menjongoskan pekerja.
Terakhir, artikel opiniku -tanpa ITS dan jabatan- pada akhir Mei 2021 berjudul "Pandemisasi Covid-19: Bom Demografi ?" muncul di beberapa portal berita online. Oleh editornya sebagian diubah judulnya, sebagian lagi diubah kontennya sehingga menimbulkan kontroversi, termasuk di kalangan civitas academica ITS dan di kampus lain. Lalu potongan artikel itu digoreng komplit istimewa oleh 2 podcaster ternama Ade Armando dan Rudi Kamri. Gagasanku soal pandemisasi sebagai weapon of mass deception digoreng renyah menjadi WMD (senjata pembunuh massal).
Artikelku itu sebagai opini menilai bahwa rezim gagal merespons pandemisasi ini dan malah memanfaatkannya, untuk kepentingan politik. Lalu artikel itu mengingatkan Pemerintah bahwa mismanajemen covid-19 bisa mengancam bonus demografi, menyebabkan bom demografi. Tentu boleh berbeda pendapat, tapi tidak dengan pembunuhan karakter.
Belum lama intervensi kekuasaan pada universitas makin besar yang bisa mengancam independensinya. Hak istimewanya untuk memberi gelar akademik datang dari kebebasan akademik yang diturunkan dari independensinya ini. Mahasiswa adalah creme de la creme, our pool of future leaders. Kritik BEM UI atas Jokowi sebenarnya memperkuat hak istimewa UI untuk memberi gelar kesarjanaan.
Tidak penting apakah substansi kritik mahasiswa sebagai civitas itu benar atau salah. Dalam belajar, yang utama adalah kejujuran. Veritas. Jika UI kehilangan kebebasannya untuk menyatakan pendapat dalam membela kebenaran (probitas), maka hak istimewa itu boleh mulai dipertanyakan. Apalagi hak itu dijamin konstitusi yang menjadi jangkar keadilan (iustitia). Presiden memikul tugas pokok menjaga konstitusi, sedangkan Rektor adalah primus inter pares dalam sebuah civitas academica, bukan civitas metropolitana.
Jatingaleh, 2/7/2021
0 Komentar