REPOSISI PENDIDIKAN TINGGI
Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Guru besar ITS Surabaya
Pendidikan tinggi saat mengalami krisis setelah didera banyak persoalan kronis terutama, untuk Indonesia, sejak Orde Baru. Pilihan politik liberal kapitalistik telah menggiring Sisdiknas hanya sebagai instrumen teknokratik untuk menyediakan tenaga kerja murah yang cukup trampil untuk menjalankan mesin - mesin, sekaligus cukup dungu untuk tekun dan bekerja untuk kepentingan investor asing. Bahkan PT diukur prestasinya dari berapa banyak alumni yang bekerja di Multi National Companies.
Melalui persekolahan paksa massal, pendidikan direduksi menjadi sekedar kanal indoktrinasi sekuleristik, bukan sebagai strategi budaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menyediakan prasyarat bagi bangsa yang merdeka. Perguruan tinggi, diposisikan sebagai sekolah tinggi kelanjutan sekolah menengah, bukan sebagai knowledge creator melalui riset untuk pengembangan iptek yang diturunkan dari falsafah negara yaitu Pancasila. Baik ilmu - ilmu sosial maupun sains alam dan teknik hampir semua diimpor dari Barat dengan rakus. Melalui praktek perankingan dan standardisasi Barat, perguruan tinggi justru menjadi ujung tombak konsumerisme iptek. Tidak terscopus mampus.
Pendidikan tinggi harus direposisi melalui dekonstruksi atas Sisdiknas yang sudah mengalami disorientasi ini. Pertama, perguruan tinggi tidak diposisikan sebagai kelanjutan pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan menengah harus selesai menghasilkan warga negara yang merdeka, mandiri, sehat dan produktif pada umur 16 - 18 tahun untuk siap bekerja dan menikah. Jangan sampai perguruan tinggi dibebani oleh kegagalan pendidikan menengah untuk menghasilkan warga negara yang merdeka, mandiri, sehat dan produktif. Hanya mereka yang berbakat akademik saja boleh melanjutkan ke pendidikan tinggi.
Pendidikan harus menjadi barang publik yang disediakan oleh keluarga, masyarakat dan persekolahan. Monopoli radikal persekolahan atas pendidikan yang telah berkembang menjadi komersialisasi pendidikan harus diakhiri. Persekolahan hanya menjadi pelengkap dan suplemen untuk menyediakan tempat berlatih vokasi untuk trampil bekerja, menyediakan sarana belajar yang tidak bisa disediakan oleh keluarga dan masyarakat.
Pendidikan harus lebih berorientasi pada relevansi, bukan mutu. Praktek perankingan, apalagi international ranking, diakhiri. Kolaborasi lebih diutamakan daripada kompetisi antar Perguruan Tinggi. Relevansi personal, dan spasial penting agar proses pendidikan lebih bermakna serta sesuai dengan potensi-potensi lokal terutama agromaritim. IT dan internet bisa digunakan untuk memperluas akses pada kesempatan belajar bagi warga muda.
Pendidikan tinggi harus lebih bersifat universal, tidak terlalu dikotak-kotak pada bidang - bidang ilmu tertentu yang sangat kaku. Pengembangan IPTEK perlu menghasilkan teknologi yang lebih konvivial (energi - rendah, mendorong kreativitas, tidak memperbudak atau eksploitatif, tidak membuat manusia menjadi superman). Profesionalisasi yang saat ini terjadi bisa berbahaya. Solusi-solusi yang dikembangkan PT bersifat parsial, tidak komprehensif, dan unsustainab CVle. Jargon integrated approach hanya manis dibibir tapi pahit di lapangan. Satuan-satuan manajemen di PT tidak seharusnya berkembang disintegrated and fragmented education. Pendidikan liberal arts (bahasa, sastra, sejarah) yang banyak dilakukan di pondok pesantren semacam Gontor dan Pabelan, juga perlu diperkuat. Obsesi berlebihan pada STEM perlu diwaspadai.
Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar, 28/8/2021
0 Komentar