APENSO INDONESIA

header ads

FENOMENA "PENGAMEN SEMI"

FENOMENA "PENGAMEN SEMI"


Oleh: Gempur Santoso

(Guru Besar Umaha Sidoarjo)


Uang memang bukan segalanya. Tapi manusia butuh uang. Walau sekadar untuk beli konsumsi makan.

Terutama bagi yang tidak punya lahan untuk menanam. Segala jenis buah hasil panen, bisa dimakan, dari lahan tanah. Terutama orang kota, ada yang tak punya lahan menanam.

"Makan uang". Maksudnya, semua harus membeli. Segala macam harus dibeli. Termasuk makanan harus beli. Termasuk minum pun harus membeli.

Bagi orang desa. Terutama hidup sebagai orang desa. Ada yang memiliki lahan. Bahkan ada yang memiliki lahan luas. Bisa menanam segala tanaman yang bisa dimakan.

Walau di desa bahan makan tak menjadi masalah. Tetap butuh uang, bukan untuk membeli makanan/minuman. Bahkan hampir nihil uang untuk bisa makan. Cukup hasil dari tanaman dari sawah, ataupun dari kebun.

Hasil panen dari sawah/kebun. Kadang sebagai lahan produktif, profit, menghasilkan uang. Bagi yang yang tak punya lahan luas. Biasanya buruh tani, sehingga punya uang. Tetapi, tetap "tidak sulit makan". Makanan tidak serba membeli.

Beberapa malam. Dua malam. Setelah shalat isak. Saya dengan istri. Duduk di area kuliner. Sambil ngopi dan sekadar makan - makanan yang ada.

Lokasi kuliner itu di tanah lapang, milik seseorang. Disewakan per petak tanpa sekat permanen. Para penjaja makanan/kuliner sewa menempati. Berjualan makanan.

Selama kami duduk di warung kuliner itu. Tidak sepi pengamen dan pengemis. Tampak pengamen itu, pengemis pula. Ngamen pakai musik asal - asalan, tanpa irama seni yang semestinya. Asal bunyi, "pengamen semi".

Lima ratus receh diberikan. Sudah selesai. Pindah ke pembeli lain.  Jrengjing, koplak - koplak ketepung paralon, kadang suara ecek - ecek. Ngamen semi mungkin bisa disebut "ngemis semi". Sama, dari pembeli ke pembeli yang duduk di warung kuliner itu. Pengemis, "pengamen semi" silih berganti.

Apa ada "pengamen asli" alias pengamen dari seniman - asli? Ada. Itu bukan "pengamen semi". Seniman "pengamen" atau "pengamen asli", ada transaksi. 

Dulu, saya menemui di desa - pedalaman. Berbagai jenis: ada janggrung (nandak/menari diiringi karawitan), ada nyanyian diiringi musik siter, ada kentrung, ada angklung wayang titi, ada jaranan, ada reog, ada pula penyanyi bergitar. Dan lain - lain.

Dulu, setiap jenis pengamen yang tampil juga dari rumah ke rumah. Kalau tanggapan (bermain) pada suatu rumah, pasti transaksi.

Pasti ada transaksi "nanggap pinten babak" (pesan berapa permainan/lakon atau lagu). Dalam satu babak ada harganya. Satu babak bermain satu kali tuntas. Ada lagu satu babak adalah satu lagu diiringi musik (guitar), sampai selesai - tuntas. Begitu pula jenis pengamen seni yang lain.

Transaksi, jual beli kesenian -  jelas. Jenis kesenian - jelas dan tuntas. Bisa dinikmati. Bisa diapresiasi. Bukan jrangjreng, diberi uang receh terus selesai dan pergi, tanpa transaksi.

Saya yakin hampir semua pernah mendengar "tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah". Artinya memberi lebih baik dari pada meminta (ngemis). Jelas kalau ada transakasi adalah saling memberi.

Saya yakin semua orang tak bercita - cita menjadi "pengemis". Orang tua pun tak bercita - cita bahwa kelak anaknya jadi "pengemis". Semua bentuk "pengemis" kelas elit sampai kelas bawah, sebaiknya dihindari.

Jadilah "pengemis" alias minta kepada Allah SWT saja. Janganlah mensekutukanNya. Tuhan Maha Pencipta yang menciptakan semua alam dan seisinya, termasuk kita manusia.

"Ngemislah" pada pada Tuhan saja. Sebab "Tuhan menciptakan manusia dengan segala kebutuhannya". Janganlah ragu, dan nikmat apa yang kamu ragukan. Bersyukurlah yang ada- halal.

Semoga kita semua sehat selalu....aamiin yra.

(GeSa)







Posting Komentar

0 Komentar