Refleksi Akhir Tahun Pendidikan 2021
Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
Guru Besar ITS Surabaya
Dibayang-bayangi gelombang omicron, dunia tampak bersemangat untuk bangkit dari keterpurukan multi-dimensi. Dua tahun pandemi telah nyaris meluluhlantakkan ekonomi, sosial dan budaya ummat manusia. Di tambah dengan ancaman perlombaan nuklir dan perubahan iklim kita perlu melihat kembali prasyarat budaya untuk membangun kembali dunia yang lebih damai sekaligus ramah terhadap lingkungan.
Sejak dua ratus silam, seiring dengan revolusi industri, proses-proses belajar masyarakat secara perlahan-lahan digantikan oleh formalisme persekolahan paksa massal. Belajar melalui berguru dan magang ( apprenticeship) yang sangat taylor-made digantikan oleh indoktrinasi massal melalui persekolahan. Persekolahan adalah instrumen teknokratik untuk menyiapkan sebuah masyarakat baru : masyarakat industri. Di sekolah itu warga muda dilatih untuk cukup terampil menjalankan mesin-mesin sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi para pemilik bisnis, dan pabrik. Proses penjongosan massal itu berlangsung hingga dua dekade pertama abad 21 ini.
Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka bisa memberi harapan baru namun memerlukan beberapa syarat. MBKM perlu dipahami kembali sebagai upaya menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka. Ini berarti bahwa sistem pendidikan nasional harus dipahami sebagai fasilitasi perluasan kesempatan belajar untuk merdeka. Belajar merdeka penting untuk menghentikan proses penjongosan massal ini.
Perlu dicermati bahwa upaya penjajah untuk melanggengkan penjarahan sumber-sumber daya alam kita telah dilakukan melalui modus baru yang lebih canggih. Ini disebut perang asimetri atau neo-cortex war : perang pemikiran melalui berbagai instrumen. Beberapa peluru perang ini adalah standardisasi mutu, dan perankingan internasional, serta scopusisasi melalui slogan besar globalisasi. Melalui perang ini, kita dipaksa untuk terus merasa rendah diri sebagai inlander.
Bangsa ini sesungguhnya memiliki semua kekayaan alam dan budaya sebagai bangsa besar. Sejarah telah membuktikannya. Yang kini dibutuhkan adalah kesadaran baru bahwa peradaban dunia tidak boleh dibiarkan ditentukan oleh segelintir elite, melalui internet dan IT serta bio-it-teror semacam Metaverse Mark Zuckerberg atau Neuralink Elon Musk. Manusia pada fitrahnya adalah makhluk yang merdeka. Kemerdekaannya harus dilindungi dari manipulasi pikiran dan kesadaran oleh kekuatan-kekuatan ifrity yang bersembunyi dalam microchips.
Oleh karena ini MBKM justru harus memastikan bahwa semua perangkat teknologi harus tetap di bawah kendali manusia. Teknologi itu harus konvivial : memperluas kreatifitas tapi tidak memperbudak manusia sebagai makhluk merdeka. Oleh karena ini, MBKM harus dimulai dengan mengurangi formalisme persekolahan. Ini sudah dimulai sejak internet makin tersedia sebelum pandemi dan selama Study From Home dan Work From Home.
Peran keluarga dan masyarakat perlu diperkuat untuk memberi pengalaman 3D di ruang nyata, agar warga belajar memiliki konsep yang cukup untuk memahami keseluruhan kompleks kehidupan. Terlalu lama berinteraksi di ruang maya bisa berbahaya karena memiskinkan pengalaman ruang-waktu. Pengalaman akan tetap menjadi guru terbaik, sedangkan belajar adalah sebuah proses memaknai pengalaman tersebut melalui membaca, berbicara dan menulis.
Perampasan kemanusiaan kita oleh kekuatan-kekuatan ifrity dalam dunia maya harus dihentikan dengan mendorong aktifitas fisik, mental, intelektual serta spiritual yang lebih bermakna. Prasarana IT dengan berbagai kecanggihannya harus diatur kembali agar tidak mendominasi kehidupan. Teknologi itu harus tetap dipertahankan perannya sebagai alat bantu belaka, tidak untuk merampas peran manusia sebagai makhluk yang mengambil keputusan yang penuh tanggungjawab. Kesempatan mengambil tanggungjawab itu satu-satu caranya bagi manusia untuk mampu merasakan kebahagiaan.
Hemat saya, itulah beberapa persyaratan agar Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka memberi harapan baru bagi pendidikan kita sebagai strategi budaya mempersiapkan bangsa yang merdeka. Konsistensi kita di papan bawah prestasi akademik PISA serta kekalahan kecerdasan emosional dan psikomotorik Timnas dalam AFF 2021 tidak perlu terlalu lama membuat kita larut dalam kesedihan. Kita perlu ingat pesan Ki Hadjar Dewantara bahwa tujuan utama pendidikan kita adalah membangun jiwa merdeka.
Rosyid College of Arts,
Gunung Anyar, 31/12/2021
0 Komentar