APENSO INDONESIA

header ads

KURIKULUM DAN NASIB

KURIKULUM DAN NASIB 


Oleh: Gempur Santoso 
(Gubes UMAHA Sidoarjo)



Kalau taraf latihan asal-usul perkalian 5 x 3 itu berasal dari 5+5+5 = 15. Jadi ada angka 5 banyaknya 3 kali, terus dijumlahkan, hasil 15.

Tapi, bagi yg sudah padai, biasa, sudah tahu. 5 x 3, langsung dijawab 15.

Begitu pula. Kalau sudah terbiasa jadi guru. Sudah tahu, tujuan instruksional (pendidikan) umum. Juga tujuan instruksional khusus.

Belajar agar murid bisa mengerti. Harus dilakukan pendidikan setapak demi setapak (bertahap) secara pendidikan khusus. Bila semua pendidikan khusus telah dilalui, maka secara umum tercapailah tujuan pendidikan umum, pada ilmu tertentu.

Kurikulum, sebagai panduan tahapan untuk menjadikan peserta didik tercapai tujuan pendidikan ilmu tertentu. Agar tidak sik-sak dalam proses belajar mengajar. Sik-sak materi yang diajarkan malah anak didik (murid) menjadi "bingung".

Oleh karana itu, ada strategi mengajar, itu terkait usia murid. Sebab usia manusia yang berbeda, memiliki tingkat psikologis yang berbeda. 

Mengajar/mendidik bukan berbasis isi (content) semata. Pokok-e isi materi pelajaran telah diberikan. Dianggap sudah selesai. Padahal belum tentu murid bisa menangkap materi itu. 

Seharusnya, belajar harus tuntas. Isi materi tersampaikan, murid juga harus sudah sampai mengerti dan bisa. 

Biasanya untuk mengetahui apakah murid sudah mengerti atau belum. Gunakan feedback berupa ketrampilan bertanya pada murid.

Guru harus tahu tentang manusia, karena yang dididik itu manusia. Artinya, guru harus tahu taraf perkembangan psikologis manusia.

Apalagi hanya sekadar membuat skenario mengajar, tanpa mengerti strategi mengajar. Kalau seperti itu, bukan guru pun bisa. Atau hanyalah "bekerja sebagai guru" saja, tapi bukan guru hanyalah instruktur saja.

Semua bisa dipelajari tentang teori mendidik. Agar bisa mendidik. Sebab mendidik itu, bagaimana murid bisa memiliki ilmu dan berakhlak mulia (ber-akhlakulkarimah).

Kecerdasan otak/berfikir (kognitif), kecerdasan rasa (afektif), kecerdasan berprilaku (psikomotorik). Itu semua bisa terjadi menjadikan murid cerdas berilmu.

Harus sungguh-sungguh mencerdaskan murid/mendidik. Pakai pendekatan konstruktivisme, yang mengutamakan perbedaan kemampuan/talent manusia (manusiawi).

Sebab manusia bukan mesin/robot. Tetapi, manusia itu lengkap terdiri jasmani dan rohani.

Kecerdasan ada tiga kecerdasan, itu bisa dilatihkan dengan proses belajar mengajar, dan tauladan perilaku.

Tampak bahwa menjadi cerdas dan nasib, itu berbeda. Tapi, semua diperlukan agar sukses dalam kehidupan.

Ada yg sudah cerdas, tetapi nasib kurang beruntung. Ada yg kecerdasannya bisa (rata-rata) saja, tetapi nasibnya baik. Ada yang cerdas nasibnya juga baik.

Apakah nasib bisa dipelajari? Tentunya bisa. Caranya bagaimana? Yakni harus ada komunikasi/dekat manusia dengan yang menciptakan manusia.

Komunikasi dengan Yang Maha Pencipta. Bagi manusia harus tahu kebenaran. Harus jujur. 

Kerjakan yang diperintah Allah SWT dan hindari yang dilarangNya. Ber-transaksilah  (berdo'a) denganNya, jangan khianati. Konsisten konsekuen (jujur) lah denganNya.

Nasib manusia akan tercapai atas ilmu kebenaran yang dimiliki manusia dan kejujuran transaksi denganNya. Bukan seolah-olah jujur, berlagak Tuhan....menipu Tuhan.

Manusia boleh berencana dan berikhtiar tetapi Tuhan yang menentukan.

Semoga kita memiliki kecerdasan dan bernasib baik. Dan, berharap kita semua sehat lahir batin....aamiin yra.

(GeSa)









Posting Komentar

0 Komentar