Pendidikan Liberal Arts di Era Digital
Oleh : Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts
Children are born artists. Sayang keartisan anak-anak itu sering hilang di sekolah yang memuja standard sebagai ukuran mutu. Formalisme persekolahan yang semakin birokratik juga sering tidak menghargai pengalaman sehari-hari warga belajar. Akibatnya relevansi personal, spasial dan temporal terabaikan oleh penyeragaman yang sentralistik. Warga belajar semakin terasing dari dirinya sendiri juga dari potensi-potensi agromaritim yang melimpah di sekitar mereka. Lalu urbanisasi membanjiri kawasan industri dan komersial di kota-kota besar, sementara desa semakin brain drained karena ditinggalkan oleh warga mudanya.
Pemberhalaan sains dan matematika, menelantarkan musik, seni, bahasa, dan sejarah. Tidak mengherankan jika kreatifitas mandeg, dan inovasi hanya ilusi. Di tengah banjir data dan informasi serta pengetahuan saat ini, imajinasi menjadi barang yang makin langka. Padahal Einstein berkata, imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Adalah bayi makhluq yang paling imajinatif. Bayi yang baru lahir itu lapar pengalaman sebagai papan lontar belajar. Rasa ingin tahu itu pemicu belajar. Setiap pertemuan dengan lingkungan akan merangsang sel-sel otaknya yang masih baru, gres, kinyis-kinyis. Sentuhan, rengeng-rengeng tembang, gojegan serta ocehan ibunya merupakan pengalaman pertama terpenting yang membuat bayi ini menjadi manusia. Itulah sebabnya, ibu disebut sebagai sekolah -jika bukan guru- yang pertama dan utama.
Segera setelah diberi nama, maka makhluq kecil itu menjadi pembelajar. Tanpa nama bayi itu akan kesulitan mengkonstruksi pengalaman sebagai keberadaannya dalam ruang dan waktu. Adalah AKU yang mengalami, lalu belajar menjadi proses memaknai pengalamanku. Nama oleh karenanya bukan sekedar nama. Sesungguhnya nama adalah kembaran simbolik, atau kembaran digital seseorang. Percakapan sederhana, penyebutan nama-nama benda oleh ibu di sekitar anaknya itulah yang menjadikan anak manusia itu menjadi makhluq simbolik, homo simbolicum yang hidup di dua dunia : dunia nyata dan dunia simbol. Begitulah Tuhan mentransformasi Adam dari sekedar makhluq biologis menjadi homo sapien. Kemampuan bicara, membaca dan menulis adalah kemampuan khas spesies manusia. Itulah mengapa manusia Jawa lebih berkuasa daripada harimau Jawa sekalipun yang terakhir ini memiliki cakar dan taring yang lebih mematikan.
Mendengar adalah pengalaman penting pertama. Melihat, merasa, mencium adalah pengalaman berikutnya. Berbahasa sebagai kemampuan simbolik dimulai dengan berbicara setelah mendengar dan melihat. Dengan kemampuan simbolik itulah, manusia belajar dengan memaknai pengalamannya. Membaca, lalu menulis adalan dua kemampuan simbolik lain yang lebih kompleks. Pengalaman spasial dalam ruang 3-dimensi sekaligus memberi pengalaman temporal. Pengalaman ini dapat diperkaya dengan lebih banyak mengeksplorasi alam juga dengan bermain dan berolahraga yang menguras fisik dan mental. Dengan musik, dan tari, maka ritme, tempo dan dinamika dialami AKU melalui kegiatan multi-ranah dan multi-cerdas ini. Kemudian, AKU mengubah semua pengalaman itu menjadi narasi, kisah, cerita dan dongeng sebagai kembaran simbolik. Begitulah manusia bertumbuh menjadi spesies yang paling canggih, sekaligus paling terorganisasi.
Retorika, gramatika, dan logika, lalu geometri, astronomi, aritmatika, dan astronomi serta musik adalah cabang-cabang tradisional liberal arts. Pendidikan liberal arts menekankan pengalaman atau praktek multi-ranah yang intensif. Gimnastika memperkaya liberal arts. Luaran terpenting dari pendidikan liberal arts adalah kecakapan berpikir, bukan sekedar ketrampilan bertukang. Dengan melibatkan pengenalan pada Allah Tuhan YME dalam pendidikan ini, pendidikan liberal arts ini akan menjadi sumber inspirasi, dan memberi fondasi spiritual yang kokoh bagi inovasi dan pendalaman keahlian tertentu seperti kedokteran, keinsinyuran, arsitektur, dan profesi-profesi lain. Kecakapan berpikir inovatif akan memperkuat ketrampilan makership.
Tantangan utama belajar saat ini adalah kehadiran dunia digital yang terlalu awal bagi kaum belia. Dunia digital hanya memberi pengalaman spasial 2-dimensi, dan temporal yang semu dan miskin. Ini berbahaya bagi kemanusiaan kita dalam jangka pendek, apalagi jangka panjang. Pandemi kekerasan, kerancuan kelamin dan magerisme di kalangan warga muda yang matak akhir-akhir ini mengancam bonus demografi. Budaya instan yang tumbuh seiring dengan kemudahan dan kecepatan yang dihadirkan oleh gadget akan menjauhkan generasi muda kita dari realitas spasial-temporal. Kepalsuan ini menyesatkan Aku sebagai kembaran simbolik, dan mengacaukan belajar sebagai proses memaknai pengalaman. Pada saat dinding-dinding tinggi persekolahan dan kampus dilubangi oleh internet, kita mesti waspadai bahaya laten yang dibawa gadget dalam pendidikan warga muda agar kita bisa memanen berkah demografi dari warga muda yang berjiwa merdeka, mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif.
Festival Sastra Internasional,
Gambiran, Banyuwangi 25 November 2022
0 Komentar